oleh: dr. M. Amin (Poverty Care)
Konsep nation-state (negara-bangsa) adalah negara yang didasarkan pada konsep nasionalisme dianggap gagal. Nation-state dikritik dengan dua cara. Pertama: dengan menjelaskan kelemahan konsep nation-state itu sendiri, baik secara teori ataupun praktik. Kedua: dengan menjelaskan pertentangannya dengan Islam.
Lalu para ulama kontemporer menyuarakan solusi khilafah atas seluruh problem yang dihadapi umat Islam hari ini. Ini bukan tanpa tantangan, terjadi monsterisasi khilafah. Ini baru terjadi sekarang setelah ada keputusan politik.
Terkait dengan solusi Khilafah ini, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menjelaskan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) telah sepakat bahwa tak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan. (Abdurrahman Al Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, V/416).
Rasulullah saw. membangun struktur negara Islam sendiri, kemudian baginda sempurnakan semasa hidup baginda. Bagindalah yang menjadi kepala negaranya. Baginda juga memiliki dua mu’âwin (pembantu), wali, ‘amil, qadli, pasukan, dirjen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah tharîqah (metode baku) yang wajib diikuti. Semuanya ini telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.
Rasulullah saw. senantiasa menjalankan tugas sebagai kepala negara sejak tiba di Madinah hingga baginda saw. wafat, sementara Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khattab adalah mu’âwin baginda. Para sahabat, pasca baginda saw. telah sepakat untuk mengangkat kepala negara yang menjadi penerus Rasulullah saw. dalam memimpin negara, bukan sebagai penerus kerasulan dan kenabian. Sebab, kenabian dan kerasulan ini telah berakhir pada baginda saja.
Demikianlah Rasulullah saw. telah membangun struktur negara secara sempurna dalam kehidupan baginda. Baginda saw. telah mewariskan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas.
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu disebutkan bahwa ‘ulama dari kalangan Ahlus Sunnah, Murjiah, Syi’ah, Mu’tazilah (kecuali satu kelompok dari mereka), dan Khawarij (selain kelompok Najdat) menyepakati bahwa Imamah merupakan perkara yang wajib dan fardhu yang telah ditentukan [catatan kaki di kitab tersebut: Syarh al-‘Aqa-id an-Nasafiyah karya at-Taftazani, hal. 142 dan seterusnya; Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin karya al-Asy’ari, Juz 2 hal. 133; Hujjatullah al-Balighah karya ad-Dahlawi, Juz 2 hal. 110; Ushuluddin karya al-Baghdadi, hal. 271 dan seterusnya, terbitan استانبول; al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Mawardi, hal. 3]
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah Juz 6 hal. 217 dinyatakan:
Artinya: “Umat bersepakat akan wajibnya mewujudkan Imamah. Dan wajib atas umat mengangkat seorang Imam yang ‘adil, yang akan menegakkan hukum-hukum Allah atas mereka dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang menyelisihi ijma’ ini yang perlu diperhatikan.”
Dalam kitab al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal Juz 4 hal. 72 (terbitan مكتبة الخانجي), Imam Ibn Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri menyatakan:
Artinya: “Seluruh Ahlus Sunnah, Murjiah, Syi’ah dan Khawarij bersepakat akan wajibnya Imamah. Dan (mereka juga bersepakat) wajib bagi umat untuk mengangkat seorang Imam yang ‘adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka, serta mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali kelompok Najdat dari Khawarij.”
Dalam kitab Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin Juz 10 hal. 42 (terbitan المكتب الإسلامي), Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i menyatakan:
Artinya: “Sebuah keharusan bagi umat, adanya Imam yang akan menegakkan agama, menolong Sunnah, memberikan keadilan bagi orang yang terzhalimi, serta menunaikan berbagai hak dan menempatkannya sesuai tempatnya. Menurutku, mewujudkan Imamah tersebut merupakan fardhu kifayah. Dan jika tidak ada yang mampu melakukannya kecuali satu orang, maka wajib ‘ain atasnya dan merupakan keharusan baginya untuk mendapatkannya, jika belum ada yang mendahului. Wallahu a’lam.”
Dalam kitab Bada-i’ ash-Shana-i’ fi Tartib asy-Syara-i’ Juz 7 hal. 2 (terbitan دار الكتب العلمية), Imam ‘Alaa-uddin al-Kassani al-Hanafi menyatakan:
Artinya: “Dan karena sesungguhnya mengangkat seorang al-Imam al-A’zham (khalifah) itu merupakan fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan perbedaan pendapat dengan sebagian kelompok Qadariyah, karena adanya ijma’ shahabat radhiyallahu ‘anhum akan hal ini (wajibnya mengangkat seorang khalifah). Juga karena adanya keperluan mendasar kepadanya (khalifah), untuk menerapkan hukum, memberikan keadilan terhadap orang yang dizhalimi atas orang yang menzhaliminya, menghentikan berbagai pertikaian yang mengarah pada fasad, dan karena berbagai kemaslahatan lain yang tidak bisa terwujud tanpa adanya Imam.”
Dalam kitab Mathalib Uli an-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha Juz 6 hal. 263 (terbitan المكتب الإسلامي), Syaikh Mushthafa ibn Sa’d as-Suyuthi ar-Rahibani al-Hanbali menyatakan:
Artinya: “Dan mengangkat seorang Imam merupakan fardhu kifayah. Hal ini karena manusia membutuhkannya untuk menjaga kemurnian (agama), mempertahankannya dari pencemaran, menegakkan hudud, menunaikan hak-hak, serta untuk amar ma’ruf dan nahi munkar.”
Dalam kitab adz-Dzakhirah Juz 13 hal. 234 (terbitan دار الغرب الإسلامي), Imam Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki menyatakan:
Artinya: “Dan mengangkat seorang Imam merupakan kewajiban bagi umat, sesuai kemampuan.”
Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah Juz 1 hal. 15 (terbitan دار الحديث), Imam Abu al-Hasan al-Mawardi asy-Syafi’i menyatakan:
Artinya: “Dan mewujudkannya (Imamah), bagi orang yang mampu melakukannya di tengah-tengah umat, merupakan kewajiban berdasarkan ijma’.”
Dalam kitab al-Khilafah hal. 18 (terbitan الزهراء للاعلام العربي), Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan:
Artinya: “Salaful Ummah, yaitu Ahlus Sunnah dan mayoritas kelompok lainnya bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam –yang akan mengurus urusan umat– wajib atas kaum muslimin menurut syara’, bukan hanya menurut akal seperti yang dikatakan sebagian kalangan mu’tazilah.”
Dalam buku Fiqih Islam hal. 495 (terbitan Sinar Baru Algesindo, cetakan ke-40), H. Sulaiman Rasjid menyatakan:
“Kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum muslim.”
Dari pernyataan para ‘ulama di atas, dapat disimpulkan dengan sangat jelas bahwa para ‘ulama sepakat mendirikan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib, sebagaimana kewajiban-kewajiban syari’ah lainnya. Dan siapa saja yang meninggalkan kewajiban ini akan mendapatkan dosa, bahkan azab yang sangat pedih karena meninggalkan kewajiban ini merupakan kemaksiatan yang sangat besar. Hal ini dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 2 hal. 13 (terbitan دار الأمة). Berikut pernyataan beliau:
Artinya: “Dan mengangkat seorang khalifah merupakan fardhu bagi seluruh kaum muslimin di berbagai penjuru dunia. Mendirikannya –sebagaimana mendirikan kewajiban dari berbagai kewajiban yang lain yang difardhukan oleh Allah bagi kaum muslimin– merupakan perkara yang telah ditentukan, dan tidak ada pilihan maupun keringanan dalam urusan ini. Kelalaian dari aktivitas mendirikannya merupakan salah satu kemaksiatan terbesar, yang akan mendapatkan azab dari Allah dengan azab yang sangat pedih.”[]