Jaminan Kesehatan Rakyat Dipertanyakan

Hilangnya rasa empati pasien darurat kerap terjadi saat dihadapkan dengan pertimbangan administrasi. Rumah Sakit (RS) yang harusnya menjadi wadah penolong nyawa manusia menjadi lambat penanganan dan ruwet birokrasi saat berhubungan dengan biaya. Benarlah kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah darurat sakit tidak segera mendapatkan pelayanan, tapi masih diributkan persoalan biaya.

Nasib malang inilah yang dialami Debora, bayi 4 bulan harus meregang nyawa karena problem biaya. Hal ini menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah publik. Menurut informasi yang beredar di media, setelah satu pekan Debora dirawat di RS Mitra Keluarga Kalideres kondisinya tak membaik. Sehingga seorang dokter menyarankan untuk dirawat di ruang pediatric intensive care unit (PICU). Masalahnya, untuk dirawat di fasilitas khusus itu ada biayanya, yaitu Rp 19,8 juta itu baru uang muka, bukan biaya keseluruhan. Malang lagi karena orang tua Debora tak memiliki uang sebanyak itu. Mereka hanya punya lima juta rupiah, sayangnya uang lima juta itu ditolak. Pihak RS menyarankan agar Debora dirujuk ke RS lain yang memiliki fasilitas PICU dan menerima pasien anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Orang tua Debora sudah berusaha menghubungi sejumlah rumah sakit setelah Debora disarankan dirujuk. Namun mereka tak juga mendapatkan ruang PICU kosong untuk merawat putrinya. Kondisinya kian memburuk hingga nyawanya tak terselamatkan.

Kondisi tersebut menunjukkan syarat biaya bisa menjadi lebih penting daripada nyawa. Kemanakah nurani kemanusiaan mereka? bukankah instansi kesehatan merupakan pusat pelayanan pertolongan? dan bukankah kesehatan merupakan hajat hidup asai yang wajib dipenuh?. Apalagi Pemerintah sudah memberlakukan layanan jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS, dengan biaya yang ditarik dari masyarakat tiap bulannya. Lantas untuk siapakah jaminan kesehatan tersebut? karena faktanya kasus ditelantarkannya pasien dan buruknya layanan RS tidak hanya dirasakan Debora, juga dirasakan masyarakat di sejumlah daerah lain.

Sakit memang qodarullah dan berobat merupakan ikhtiar menjemput kesembuhan. Di tengah-tengah gersangnya layanan kesehatan ini, masyarakat sangat mengharapkan adanya perubahan untuk mendapatkan jaminan kesehatan dengan pelayanan terbaik. Dengan ini menjadi keharusan bagi Pemerintah untuk mengevaluasi kinerja dan program-programnya terkait pelayanan masyarakat. Termasuk memberikan jaminan kesehatan bagi setiap warganya dengan pelayanan yang tak lagi kompromi dengan biaya yang memberatkan. Karena memang tugas pemerintah adalah memberikan pelayanan bagi rakyatnya.

Adakah layanan kesehatan cuma-cuma yang mudah di akses bagi seluruh lapisan masyarakat? Dalam kondisi sekarang ini seakan sebuah impian atau khayalan. Bagaimana bisa Cuma-Cuma, dana darimana untuk membayar dokternya, obatnya, perawatan RS, belum lagi peralatan canggih untuk pengobatan? semua butuh dana. Maka untuk mendapatkan kesehatan rakyat harus membayar. Tingkat pelayanan pun tergantung harga bayar yang dikeluarkan. Ini semua terjadi karena kesehatan sudah bergeser dari orientasi kemanusiaan menjadi profit oriented.

Rumah sakit yang harusnya menjadi tanggung jawab Negara untuk menyediakan, kini bergeser berada di tangan para pemodal. Budaya bisnis RS lebih dominan ketimbang otoritas medis. sebagaimana yang ditulis oleh Agustinus Simanjutak dalam Jawa Pos (16/9/2017), beliau mengungkapkan bahwa manajemen korporasi itu bisa terbaca dalam laporan korporasi RS kepada shareholders yang hanya menampilkan aspek kinerja dan kondisi keuangannya. Laporan korporasi jarang menampilkan gerak seluruh tenaga medis dalam memenuhi pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Rupanya, para shareholder tidak tertarik dengan laporan tentang prestasi para tenaga medis atau pendapat masyarakat tentang cara dan metode pelayanannya.

Hal ini menunjukkan bahwa iklim kapitalistik telah menggerus rasa kemanusiaan, bahkan di lembaga kesehatan. Jika demikian benarlah kalimat satir bahwa orang miskin dilarang sakit. Karena biaya pengobatan yang mahal sebagai upaya menarik keuntungan bisnis semata. Dimanakah tanggung jawab Negara? jaminan kesehatan apa yang diberikan pada rakyatnya?

Agaknya, Penguasa Negara kita perlu bercermin pada layanan kesehatan yang pernah didirikan  Khalifah al-Mansyur di Kairo pada tahun 1248 M, dengan kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien muslim dan chapel untuk pasien Kristen. Atau Rumah Sakit an-Nur yang didirikan pada masa Khalifah Bani Umayyah pada tahun 706 M di Damaskus. Rumah sakit ini menjalankan fungsinya selama 8 abad dan masih ditemukan sisa kejayaannya saat ini. Itu semua ada di masa kegemilangan Islam. Islam, adalah seperangkat aturan yang memuliakan manusia. Menjamin kebutuhan hajat hidupnya, termasuk jaminan layanan kesehatan. RS di era keemasan Islam memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh pasien baik laki-laki maupun perempuan sampai benar-benar sembuh. Pasien diberikan layanan secara prima dan cuma-cuma, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, semua diperlakukan secara sederajat dan adil. Tak ada persyaratan tertentu dalam pembayaran. Karena pembiayaan bersumber dari Baitul Mal (Kas Negara). Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat. Semua pelayanan di RS itu dilakukan dengan mengharap keridhaan Sang Pencipta, Allah SWT. Di sinilah kita bisa mendapat gambaran bahwa Islam lebih dulu unggul dan maju dalam menjamin kebutuhan kesehatan masyarakat.[]

 

 

 

Eni Mu’tamaroh Imami, S.Si

Anggota EL-Mahira Jombang,

(Komunitas Peduli Keluarga, Perempuan, dan Generasi)

 

Share artikel ini: