Mediaumat.id – Dinilai menjadikan para investor asing sewenang-wenang, hingga menyulut kericuhan di lokasi industri pengolahan nikel (smelter) PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) Morowali Utara, Sulteng, Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Daeng Wahidin meminta Presiden Jokowi mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja.
“Pak Jokowi itu perppunya dicabut aja. Ini gara-gara perppu, gara-gara omnibus law Bapak yang membuat investor asing ini sewenang-wenang, sak karepmu dewe (suka-suka sendiri),” ujarnya dalam video yang diunggah di akun Twitter pribadinya, @DaengWahidin2, Ahad (22/1/2023).
Dengan kata lain, yang memicu ‘pertarungan’ antara pengusaha dengan buruh kala itu adalah regulasi yang menghidupkan kembali Undang-Undang Omnibus yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 namun bersyarat.
Akibatnya, pihak pengusaha yang semestinya membina hubungan industrial dengan buruh, tidak mau melakukan itu. Celakanya, tambah Daeng, para pengusaha justru berlindung di balik regulasi dan pejabat korup.
“Maka dari itu kita minta kepada Presiden Jokowi untuk segera cabut itu perppunya,” pintanya lagi.
Apalagi selama ini, para buruh sudah merasa capek menerima hantaman bermacam kebijakan pemerintah yang merugikan mereka. “Sudah capek kita Pak. Persoalan begini bertubi-tubi, kaum buruh ini bertubi-tubi kebijakan Bapak menghantam kami,” ulasnya.
Untuk itu, ia juga meminta penguasa dalam hal ini Presiden Jokowi agar benar-benar mendengarkan apa yang menjadi aspirasi kaum buruh. Sebab kalau tidak, sambung sosok yang juga mewakili Konferensi Buruh Merdeka Indonesia (KBMI) itu mengingatkan, mundur saja dari jabatan Presiden Republik Indonesia.
Jangan malah sibuk berwacana perpanjangan masa jabatan. “Enak aja minta perpanjangan masa jabatan presiden. Memangnya ganti SIM (Surat Izin Mengemudi). Bukan, ini pejabat kepala negara, kepala pemerintahan,” tukasnya.
Ketidakadilan
Di saat yang sama pula, ia menyesalkan pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang terkesan menyebut ada unsur-unsur provokasi dari kalangan pekerja pribumi sebelum terjadi kericuhan.
Pasalnya selain sangat menyakitkan, kata Daeng, memang tidak ada unsur provokasi di sana. “Kenapa buruh pribumi melawan? Karena di situ ada ketidakadilan,” jawabnya tegas.
Sebutlah tidak adanya transparansi dari manajemen PT GNI ke dinas imigrasi maupun ketenagakerjaan setempat, misalnya. Sehingga ia memandang PT GNI adalah bentuk miniatur dari negara di dalam negara.
Lagi pula tidak mungkin buruh mau menjadi provokator di tempat kerjanya sendiri. “Tidak mungkin buruh menjadi provokator di tempat dia mencari makan (untuk) memberikan makan anak istrinya. Logikanya di mana? Enggak nyampe itu,” tandasnya.
Yang menjadi soal justru tengah terjadi diskriminasi upah. Dari keterangan Daeng, pekerja kasar pribumi digaji rata-rata setara UMR-UMP yakni sekitar Rp 5 juta. Sementara tenaga kerja asing dari Cina, digaji hingga Rp 15 juta ke atas. “Belum lagi fasilitas mess (penginapan), fasilitas makanan, dsb.,” urainya.
Dengan demikian, ia menilai wajar ketika sebagai pribumi dalam hal menuntut keadilan lantas dipersulit, kemudian melakukan perlawanan. Sebabnya, di tengah kekayaan alam (nikel) melimpah, rakyat kebagian kerusakan lingkungan saja.
Perlu diingat, bukan kemudian kaum buruh menolak investasi. Justru ia dan kawan-kawan buruh lokal berterima kasih kalau ada investor yang bersedia berinvestasi ke Indonesia.
Tetapi, tegasnya, dengan catatan tidak menggadaikan hak-hak rakyat Indonesia untuk kepentingan bangsa lain.
Yang terakhir ia mengimbau bahwa peristiwa ini harus menjadi pelajaran bersama. “Saya minta kepada Presiden Jokowi, Menko Polhukam, Menko Invest, Menaker, Menko Perekonomian, Kapolri, Panglima TNI, tolong bijak menyikapi persoalan ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian