Berdasarkan pemberitaan tirto.id (13/05/2020) Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada masa pandemi COVID-19. Tarif baru berlaku efektif pada 1 Juli nanti.
Dasar hukum tarif baru ini adalah Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, diteken Jokowi Selasa (5/5/2020) lalu.
Apakah ini kebijakan yang dzalim?
Kebijakan menaikkan iuran BPJS adalah wujud kedzaliman dan menyengsarakan rakyat
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai kebijakan itu akan semakin memberatkan rakyat. Di tengah pandemi ini pekerja informal sangat sulit kondisi ekonominya, tapi pemerintah malah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Rezim penguasa sepertinya sudah kehilangan akal sehat dan nurani belas kasih kepada rakyat.
Tahun sebelumnya rezim penguasa juga telah membuat keputusan menaikkan iuran BPJS berdasarkan Perpres no 75 tahun 2019. Tetapi Perpres ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan surat keputusan No. 7/P/HUM/2020.
Pemimpin yang dzalim sangat dibenci oleh Allah
وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ
“Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim. (HR. Tirmidzi)
Seorang pemimpin seharusnya mengerti tentang kondisi rakyatnya, setia untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, bukanlah menindas dan mendzalimi rakyatnya. Allah mengharamkan surga pada pemimpin yang tidak setia ada rakyatnya
مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ
“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pemimpin dzalim lahir dari sistem yang dzalim. Sistem dzalim yang saat ini berlangsung adalah kapitalisme. Kapitalisme memposisikan kesehatan bukan dalam perspektif pelayanan tetapi perspekif tukang dagang. Kesehatan dijadikan sebagai komoditas dagangan sehingga rakyat diharuskan membiayai sendiri kesehatan mereka. Dalam pandangan kapitalisme mensubsidi kesehatan adalah pelanggaran.
Ini jelas berbeda dengan Islam. Politik ekonomi Islam harus memastikan betul-betul rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, terbaik dan gratis. Orientasi pelayanan sangat jelas dalam Islam.
Di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini sepantasnya kita tingkatkan taqarub ilallah, salah satunya dengan meningkatkan muhasabah lil hukam kepada penguasa yang dzalim agar mereka taubat dan mau menjalankan syariah Islam yang barokah.[]AgungWisnu/LS