Isrā’ dan Mi’rāj

Allah tabāraka wa ta’āla berfirman: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (TQS al-Isrā’ [17] : 1).

Kalimat subhānallāh merupakan ungkapan penyucian terhadap Allah tabāraka wa ta’āla dan pengagungan terhadap urusan-Nya. Dia berkuasa atas sesuatu di mana tidak seorang pun selain diri-Nya yang berkuasa atasnya. Sementara perintah-Nya, kun fayakūn (jadilah, maka jadilah). Allah tabāraka wa ta’āla Mahasuci urusan dan nama-Nya. Dialah Dzat yang kekuasaan-Nya begitu jelas dengan menjalankan hamba-Nya Muhammad pada malam hari “dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya”, sedang sekelilingnya adalah negeri Syam, “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami”, sedang di antara tanda-tanda (kebesaran) Kami adalah al-Qur’an al-Qarim yang menuntun pada jalan yang lebih baik dan lurus, “Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Isra’ dan Mi’raj itu sendiri adalah mukjizat, namun Islam tidak menantang seorang pun dengannya. Ketika kaum Quraisy gaduh (menyoraki) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu mereka tentang peristiwa Isrādan Mi’rāj yang dialaminya, serta beliau menggambarkan kepada mereka terkait Baital Maqdis, dan tentang unta-unta yang tengah membawa perdagangan mereka, juga tentang kapan mereka akan tiba.

Orang-orang kafir pergi ke Abu Bakar as-Siddiq, dengan harapan ia akan bertanya-tanya dan tidak percaya seperti mereka, serta berharap ia (as-Siddiq) sependapat dengan diri mereka. Mereka berkata kepadanya: “Apakah Anda sudah mendengar berita tentang sahabatmu yang mengklaim bahwa dirinya dijalankan pada malam hari ke Baital Maqdis?” Abu Bakar berkata: “Benarkah, ia berkata seperti itu?” Mereka berkata: “Ya, benar!”. Abu Bakar berkata: “Jika ia benar-benar berkata seperti itu, maka sungguh ia jujur dan benar.” Mereka berkata: “Ataukah Anda mempercayainya bahwa ia telah pergi pada malam hari ke Baital Maqdis, dan kembali lagi sebelum shubuh?” Abu Bakar berkata: “Ya, saya percaya. Bahkan saya mempercayainya tentang hal yang lebih jauh lagi dari itu. Saya mempercayainya dengan berita langit di pagi dan sore hari.” Berita langit, yakni al-Qur’an al-Karim adalah mukjizat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana dengannya Allah tabāraka wa ta’āla menantang semua ciptaannya, sejak dari hari pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus hingga hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang merayakan Isrā’ dan Mi’rāj, sementara mereka menyia-nyiakan Kitabullah dan mereka tidak berhukum dengannya. Mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah, mereka tidak menghalalkan apa yang dihalalkannya, dan mereka tidak mengharamkan apa diharamkannya. Sehingga berlaku untuk mereka firman Allah tabāraka wa ta’āla: “Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”.” (TQS al-Furqān [25] : 30).

Allah tabāraka wa ta’āla berfirman: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. Dan manusia mendo`a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo`a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa..” (TQS al-Isrā’ [17] : 9-11).

Al-Qur’an ini memandu ke jalan yang lebih lurus dan baik, yaitu mengatur urusan kehidupan manusia dengan syariah Islam yang diturunkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya berdasarkan asas (dasar) yang kokoh dan kuat, sehingga tidak terpengaruh oleh pendapat dan hawa nafsu, tidak cenderung dengan kasih sayang, kepentingan, dan kedekatan. Kehidupan manusia dijalankan berdasarkan Lā Ilāha Illallah Muhammad Rasūlullah (Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Muhammad utusan Allah), juga berdasarkan sistem, undang-undang, adat istiadat, gagasan, dan tradisi yang terpancar (berasal) dari akidah Islam, dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, Allah Maha Tahu dengan semua yang diciptakan-Nya, serta mengetahui apa yang baik bagi mereka. Untuk itu, mereka dibimbing ke jalan yang lebih baik dan lurus tentang sistem pemerintahan, sistem keuangan, sistem perekonomian, sistem soaial, perdagangan, peradilan, pendidikan, dan bahkan tentang ilmu pengetahuan serta pertanian. Sungguh, kaum Muslim telah hidup lebih dari sepuluh abad, dan mereka adalah para pemimpin umat manusia yang tak tersaingi, di mana semua orang mengetahuinya, tentang luasnya negeri mereka, peninggalannya dan pengaruhnya terhadap kehidupan umat manusia.

Dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.” (TQS al-Isrā’ [17] : 9-10). Ayat ini adalah kaidah dasar tentang amal perbuatan dan balasannya. Sehingga iman dan amal shaleh wajib dibangun atas kaidah dasar ini. Dengan demikian, tidak ada iman tanpa amal, dan tidak ada amal tanpa iman. Dengan iman dan amal kehidupan akan berjalan menuju yang lebih baik dan lurus, dengan iman dan amal, maka akan terwujudkan petunjuk melalui al-Qur’an ini. Sementara mereka yang tidak menjadikan al-Qur’an ini sebagai petunjuk, maka mereka dibiarkan berada dalam lingkaran kebodohan hawa nafsu manusia yang tidak mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakannya, sebab tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hawa nafsunya tidak mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah tabāraka wa ta’āla berfirman: “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.

Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.” (TQS al-Isrā’ [17] : 73-75).

Kaum kafir Quraisy berusaha dengan segala cara untuk menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Islam. Mereka melakukan bergaining dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka akan menyembah Tuhannya, dan sebagai imbalannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus menghentikan kecaman terhadap tuhan-tuhan mereka, juga tradisi-tradisi jahiliyah peninggalan nenek moyang mereka. Mereka juga melakukan bergaining bahwa mereka akan memberikan kekuasaan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berkuasa di atas mereka; menjanjikan kekayaan hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi yang terkaya di antara mereka; juga menjanjikan kedudukan di antara orang-orang kaya; dan berbagai rayuan duniawi lainnya. Akan tetapi berkat karunia Allah tabāraka wa ta’āla kepada Rasul-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuatnya teguh atas kebenaran dan terjaga dari fitnah. Seandainya ia tidak mendapatkan keteguhan dan penjagaan dari Allah tabāraka wa ta’āla, niscaya ia akan larut dalam bergaining mereka, dan mereka akan menjadikannya sebagai loyalis, dan sebagai konsekuensi dari keberpihakannya pada orang-orang kafir musyrik, ia akan ditimpa berlipat-lipat azab dalam hidup, serta mati tanpa menemukan penolong dari mereka yang akan melindunginya dari siksa Allah.

Upaya-upaya di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijaga oleh Allah tabāraka wa ta’āla darinya adalah upaya-upaya yang dilakukan penguasa kepada para pengemban dakwah, berupa godaan dan rayuan agar mereka menyimpang—meski hanya sedikit—dari integritas dakwahnya dan ketabahannya, dan agar mereka menerima kompromi dengan godaan dan rayuan yang berupa janji-janji manis. Mereka yang tergoda dakwahnya dengan janji-janji ini, melihat bahwa itu perkara ringan dan sederhana, mengingat para penguasa tidak memintanya untuk meninggalkan dakwahnya, kecuali meminta perubahan kecil di sana-sini, agar kedua pihak bertemu di tengah jalan, dan setan akan mengintervensi pengemban dakwah melalui celah ini, sehingga ia membayangkan bahwa dakwah terbaik adalah mendapatkan dukungan para penguasa, meski harus melepaskan sebagian sisi dakwahnya.

Namun perlu diingat bahwa adanya sedikit penyimpangan di awal jalan, akan berakhir dengan penyimpangan penuh di akhir jalan. Pengemban dakwah yang menerima konsesi dan kompromi sebagian dakwahnya meski sedikit, tidak akan mampu berhenti saat pertama kali telah menerimanya, karena kesediaannya untuk berkompromi akan terus bertambah pada setiap langkahnya. Jadi masalahnya adalah masalah iman pada semua dakwahnya, sehingga yang mau kompromi dengan sebagian darinya, meski hanya sedikit, ia tidak dapat dikatakan beriman pada dakwahnya dengan sebenarnya. Padahal semua sisi dakwah bagi orang beriman adalah hak (kebenaran), seperti yang lain, tidak ada di dalamnya bahwa ini mendesak dan ini biasa saja, dan tidak ada yang dapat ditiadakan, sebab masing-masing saling melengkapi, di mana akan hilang semua karakteristiknya ketika salah satu bagiannya hilang.

Para penguasa pelan-pelan memasukkan para pengemban dakwah dalam jerat rayuannya. Jika mereka menerima sebagian yang dinilainya sederhana dan tidak berharga, maka mereka telah hilang kejernihan pandangan, dan mereka telah hilang keseriusan serta keikhlasannya. Dengan demikian, para penguasa tahu bahwa pintu bergaining (tawar-menawar) telah dibuka, dan tak terhindarkan pasti akan diikuti oleh konsesi dan kompromi yang pada akhirnya mengarah pada penyerahan diri, terseret di bawah atap penguasa yang sewenang-wenang. Penyerahan di satu sisi, meski hanya sedikit dari sisi dakwah, untuk mendapatkan pengakuan penguasa adalah kekalahan, dan tidak ada kemenangan sesudahnya.

Kekuatan dan kemenangan tidak akan ada, kecuali dengan keikhlasan, ketaatan, beramal karena Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerapkan syariah-Nya, menghalalkan yang dihalalkan-Nya, dan mengharamkan yang diharamkan-Nya, semua itu dilakukan dengan benar dan jujur, bukan sekedar kata-kata di lidah dan pemanis bibir belaka. Oleh karena itu, Allah tabāraka wa ta’āla memberi karunia kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap teguh dengan apa yang diwahyukan kepadanya, serta menjaganya dari fitnah orang-orang kafir musyrik, juga menjaganya dari memihak mereka—meski hanya sedikit—serta memeiharanya dari akibat buruk keberpihakan ini, yaitu siksaan dunia dan akhirat yang berlipat ganda, serta hilangnya bantuan dan pertolongan Allah.

Isrā’ dan Mi’rāj adalah dakwah untuk komitmen dalam ketaatan kepada Allah, teguh dalam berdakwah kepada-Nya, menerapkan syarih-Nya, serta menegakkan agama-Nya dengan memulai kembali cara hidup berdasarkan Islam, melalui penegakan negara Islam yang mengikuti metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menerapkan hukum Allah sebagaimana diterapkan dan dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah sesudahnya. Ingat, bahwa mewujudkan itu semua adalah hal gampang dan mudah bagi Allah tabāraka wa ta’āla. Sementara yang dituntut dari kaum Muslim hanyalah ketaatan mutlak kepada Allah tabāraka wa ta’āla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta komitmen terhadap agama Allah dengan ikhlas berjuang, berorientasi pada kejujuran, dan menolong agama Allah tabāraka wa ta’āla. Sungguh, Allah tabāraka wa ta’āla berkuasa atas urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami; ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa kedua orang tua kami, dosa-dosa kaum Muslim laki-laki dan perempuan, dosa-dosa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, mereka yang masih hidup maupun yang telah mati. Ya Allah, semoga keselamatan dan keberkahan senantiasa tercurahkan kepada pemimpin kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. [Ibrahin Salamah]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 6/4/2019.

Share artikel ini: