Bila publik mau mengamati sejenak saja, maka berbagai keganjilan kebijakan pemerintah akan banyak ditemukan. Ujung-ujungnya tentu saja membuat nasib rakyat jadi buntung. Mengapa semua itu terjadi? Dan bisakah Islam menjadi solusi? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Apakah Anda melihat banyak keganjilan di negeri ini?
Ya. Banyak sekali.
Apa saja?
Misalnya, apa perlunya divestasi 51persen terhadap PT Freeport dilakukan, padahal izin mereka bakal berakhir pada 2021, dan untuk hal itu harus mengeluarkan dana lebih dari Rp 100 triliun. Ini aneh. Bukankah nanti ketika izin berakhir, itu semua akan kembali kepada kita secara utuh tanpa kita harus mengeluarkan dana sepeser pun karena itu semua adalah milik kita? Mestinya yang dilakukan pemerintah adalah memastikan bahwa pada 2021 kontrak itu harus berakhir, dan kita akan mengelola sendiri tambang yang luar biasa besar itu.
Contoh lain, bagaimana bisa terjadi, kita yang disebut-sebut sebagai negara maritim terbesar di dunia dengan panjang pantai terpanjang, harus impor garam? Bahwa ada perubahan musim sehingga produksi garam dalam negeri turun, sementara konsumsi cenderung meningkat, tetap tidak bisa menutupi keanehan ini. Bukan hanya soal garam, gula, bawah merah dan beberapa komoditas lain, juga gas alam, yang sesungguhnya bisa dicukupi oleh produksi dalam negeri, tapi tetap saja kita melakukan impor.
Lebih aneh lagi, kita impor LNG dari Singapura. Bagaimana mungkin kita yang punya sumber gas sangat melimpah harus impor gas dari negara yang notabene tak memiliki sumber gas? Aneh, kan?
Iya. Hanya itu?
Soal reklamasi Teluk Jakarta. Di masa Menkomaritim Rizal Ramli, berdasar kajian komprehensif antar instansi terkait, proyek itu harus dihentikan. Tapi begitu Menteri Rizal dicopot, proyek itu berlanjut, bahkan dalam waktu sehari setelah pengukuran pada 24 Agustus lalu, HGB Pulau D seluas 312 hektar atau 3.120.000 meter persegi langsung terbit. Bukan hanya itu, di atas pulau itu sudah berdiri banyak bangunan. Bagaimana bisa bangunan itu berdiri sementara izin belum ada dan moratorium reklamasi masih berjalan?
Lebih ganjil lagi soal Meikarta. Bagaimana bisa terjadi sebuah megaproyek kota mandiri ribuan hektar bisa berjalan tanpa izin dan dibiarkan begitu saja melakukan penjualan dan beriklan besar-besaran di media massa serta melakukan kegiatan pembangunan di lokasi? Sementara sangat banyak rumah atau bangunan milik rakyat kebanyakan yang tak berizin langsung digusur oleh aparat.
Mengapa berbagai keganjilan tersebut bisa terjadi?
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, itu terjadi karena ada pejabat pemburu rente atau komisi dari aktivitas ekspor impor berbagai komoditas seperti garam, gula, beras dan lainnya, serta pemberian atau perpanjangan kontrak. Sehingga meski sebenarnya di dalam negeri ketersediaan komoditas itu mencukupi, tetap saja mereka bikin seolah diperlukan impor. Dari sana mereka mendapat keuntungan yang sebagiannya kemudian ditransfer kepada para pejabat itu. Praktek ini sangat lazim terjadi. Ada seorang mantan menteri bercerita, suatu hari ia di-lobby para pedagang besar untuk mengizinkan impor sejumlah komoditas dengan iming-iming komisi lebih dari Rp 500 miliar. Tapi dia tegas menolak.
Kedua, ini terjadi sebagai balas budi atas dukungan pemilik modal kepada pejabat yang sekarang naik ke tampuk kekuasaan. Dulu, ketika hendak meraih jabatan, para pejabat itu tentu memerlukan dana besar. Kebutuhan itu dipenuhi oleh para pemilik modal. Tentu tidak gratisan. Ada kompensasi yang harus dibayarkan. Di antaranya yang paling lazim adalah kemudahan izin atau privilege atau hak istimewa dalam bisnis seperti yang terjadi pada proyek reklamasi pantai utara Jakarta dan Meikarta.
Mengapa pula para pejabat dapat dengan mudahnya disetir oleh pemodal?
Karena utang budi tadi.
Dalam Islam, bagaimana kedudukan pejabat dan bagaimana pula kedudukan pemodal?
Islam tidak memusuhi pemodal. Dalam pengembangan usaha atau bisnis, pemodal sangatlah diperlukan. Dalam Islam, bisnis akan didorong untuk berkembang karena ini akan menjadi salah satu pilar pertumbuhan ekonomi yang sangat penting dalam menyejahterakan masyarakat. Tapi dalam kaitannya dengan pemilihan pejabat politik, pemilik modal dicegah untuk intervensi.
Dalam Islam, hanya khalifah yang dipilih oleh umat, baik secara langsung maupun melalui majlis umat. Sementara pejabat di bawahnya seperti amil (setingkat bupati) atau wali (setingkat gubernur) dipilih langsung oleh khalifah. Dari mekanisme ini, tertutup peluang terjadinya selingkuh antara pejabat dan pemilik modal karena pejabat publik tidak memerlukan dukungan dana dari para pemilik modal untuk meraih atau mendapatkan jabatan itu.
Bagaimana memperkecil peluang para pejabat dan para pemodal untuk menyimpang dari aturan Islam?
Pertama, harus ada perbaikan mekanisme pemilihan pejabat. Pemilihan langsung kepala daerah seperti yang saat ini terjadi membuka lebar intervensi para pemilik modal karena dengan pemilihan langsung seperti itu memerlukan biaya sangat besar. Inilah pintu masuk pemilik modal.
Kedua, harus ada penanaman takwa yang sungguh-sungguh utamanya dalam diri para pejabat, karena takwa inilah yang akan mampu mengendalikan pejabat untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dan tidak berbuat menyimpang dalam kepemimpinannya, termasuk akibat tekanan para pemilik modal.
Ketiga, harus ada kontrol yang kuat dari masyarakat atas sepak terjang para pejabat itu, termasuk dalam kaitannya dengan para pemilik modal, dan keempat, harus ada hukuman yang setimpal kepada para pejabat yang menyimpang. Jangan sampai terjadi, hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Dengan empat cara itu, dalam naungan khilafah, insyaallah pertalian jahat antara pengusaha dan pejabat—yang tentu bakal sangat merugikan masyarakat dan negara—bisa diatasi.
Kenapa harus khilafah, memang kalau tetap pakai demokrasi tidak bisa?
Justru keadaan sekarang ini terjadi akibat demokrasi liberal. Bayangkan, di negeri ini semua pejabat publik mulai dari walikota/bupati, gubernur hingga presiden, dipilih langsung. Di negara liberal saja tidak seperti ini. Tidak salah kalau banyak orang menilai, dalam demokrasi kini yang berdaulat bukan lagi rakyat tapi para pemilik modal. Di samping itu, pakai khilafah bernilai ibadah.
Mengapa?
Bagi seorang Muslim, semua hal adalah ibadah sepanjang apa yang dilakukan itu sesuai dengan ketentuan syariah dan diniatkan untuk mencari ridha Allah. Menerapkan sistem khilafah jelas akan bernilai ibadah oleh karena sistem ini memang bersumber dari ajaran Islam yang diperlukan untuk mewujudkan penerapan syariah secara kaffah guna terwujudnya rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil’alamin).[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 204