Islamofobia Barat terhadap Islam, Pengamat: Tidak Selesai dengan Sanksi

Mediaumat.id – Islamofobia dunia Barat terhadap Islam yang salah satunya direpresentasikan Paludan dengan membakar Al-Qur’an dinilai oleh Pengamat Hubungan Internasional Hasbi Aswar tidak selesai dengan diberikan sanksi.

“Islamofobia yang terjadi di level masyarakat tidak selesai dengan memberikan sanksi, mengecam dan seterusnya karena dalam kaitan kebencian Barat dengan dunia Islam sudah terjadi sejak Perang Salib,” tuturnya di acara Diskusi Media Umat: Al-Qur’an Dibakar, Biarkan Saja? melalui kanal YouTube Media Umat, Ahad (5/2/2023).

Hubungan Islam dengan Barat bisa dibagi dua. Pertama, era saat dunia Islam lebih unggul dibanding Barat. Kedua, era saat Barat lebih unggul dibanding dunia Islam. “Narasi negatif terhadap Islam atau islamofobia sudah terbentuk di dua era ini,” jelasnya.

Di era dunia Islam unggul lanjutnya, umat Islam melakukan ekspansi ke berbagai wilayah termasuk Eropa. Raja-raja Eropa berupaya menggambarkan Islam sedemikian buruk. Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai Nabi palsu, meng-copy paste ajaran Kristiani. Islam digambarkan sebagai agama yang haus darah.

“Tujuannya memobilisasi masyarakat miskin petani di Eropa untuk berjuang menahan ekspansi Islam ke Eropa, karena para raja takut kehilangan kekuasaan, kehilangan dominasi mereka atas tanah akibat ekspansi umat Islam ini,” bebernya.

Hasbi mengatakan, saat Barat lebih unggul dibanding dunia Islam khususnya pada saat era Utsmani mulai turun muncullah gerakan orientalisme intelektual di Barat. Mereka mengkaji Islam untuk memberikan gambaran buruk terhadap Islam. Islam melanggar HAM, mendiskriminasi perempuan, anti ilmu pengetahuan dan lain-lain.

“Tujuannya ada dua, pertama untuk tetap menjaga kebencian dan ketakutan masyarakat Barat terhadap Islam agar pemimpin Barat mendapat legitimasi untuk melakukan penjajahan terhadap dunia Islam,” terangnya.

Ia memberikan contoh, Napoleon Bonaparte menggambarkan dirinya masuk Islam kemudian melakukan ekspansi ke Mesir dengan membawa intelektual, membawa ilmuwan untuk melegitimasi ekspansi mereka ke dunia Islam.

“Kedua, Islam digambarkan sebagai terbelakang. Tujuannya agar umat Islam merasa inferior (merasa rendah) sehingga menjadi legitimasi bagi Barat untuk melakukan intervensi politik, militer termasuk intervensi ideologi,” bebernya.

Saat umat merasa inferior, sambungnya, terbuka lebar untuk menerima pemikiran-pemikiran Barat sekuler sehingga umat Islam jauh dari ajaran-ajaran Islam. “Ini yang terjadi hingga hari ini,” imbuhnya.

Terprovokasi

Menurut Hasbi, dampak dari gerakan ini, masyarakat Barat yang awam terprovokasi yang wujud kesahariannya mereka membakar Al-Qur’an, melakukan serangan terhadap kaum Muslim, melecehkan Nabi dan seterusnya.

“Ini akan terus terjadi. Selama Barat masih unggul dibanding dunia Islam mereka akan selalu menggunakan kesempatan itu untuk menjelek-njelekkan Islam. Tujuannya supaya masyarakat Barat jauh dari Islam, sementara dari sisi umat Islamnya agar mereka merasa buruk, merasa rendah. Pada kondisi semacam ini umat Islam terbuka dengan gagasan-gagasan Barat dan dengan senang hati dikooptasi Barat,” urainya.

Hasbi lalu menyimpulkan, kemampuan Barat menciptakan narasi negatif terhadap Islam tidak hanya berpengaruh kepada masyarakat Barat saja tetapi juga berpengaruh terhadap dunia Islam di Timur.

“Kalau Islamofobia di Barat langsung terhadap Muslim, simbol-simbol Islam, pembakaran Al-Qur’an, pelarangan hijab. Tapi kalau di Timur, islamofobia muncul melalui stigmatisasi ajaran Islam. Ini lahir dari satu sumber yang sama yaitu hasil propaganda Barat yang sudah sejak lama dilakukan,” tandasnya.

Kalau kondisi umat Islam masih seperti saat ini, ucap Hasbi, setiap hari setiap tahun Islam akan selalu dilecehkan.

“Barat akan ciut dengan umat Islam, saat umat Islam mampu membalikkan keadaan seperti pada saat dunia Islam unggul dibanding Barat sebagaimana terjadi di masa lalu. Hal itu akan terjadi saat umat Islam mampu membuang penyakit yang menghinggapi kaum Muslim saat ini, cinta dunia dan takut mati. Merubah berpikir materialistik menjadi spriritual,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: