Islamic Lawyer Forum (ILF): Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia Sangat Ditentukan oleh Siapa yang Menjadi Presiden pada Pilpres 2019

Pada Ahad, 7 April 2019, bertempat di Hotel Sofian Tebet, Jakarta, LBH PELITA UMAT Sukses menggelar Diskusi Islamic Lawyers Forum (ILF) Edisi ke-9, mengambil tema “Pilpres & Masa Depan Penegakkan Hukum di Indonesia”. Hadir sebagai Nara Sumber : Dr. Dudung Amadung, SH MH (Direktur LBH Hidayatullah), Wahyu Nugroho, SH MH (Direktur LKBH USAHID), Busyara Nasution, SH CLA (Direktur Div Pengembangan & SDM LBH PAHAM), KH Ainul Yaqin (Mudhir Ma’had Al Ukhuwah Al Islamiyah Semarang) dan Chandra Purna Irawan, SH MH (Sekjen LBH PELITA UMAT).

Diskusi berlangsung begitu hangat, nampak puluhan Tokoh dan Akademisi hukum, Ulama dan Aktivis Islam hadir dalam diskusi. Diskusi dipandu langsung oleh Presiden ILF sekaligus ketua LBH PELITA UMAT, Ahmad Khozinudin, SH.

Dr. Dudung mengawali diskusi, dalam pemaparannya diterangkan proses penegakan hukum selama hampir lima tahun ini dipandang berhasil menimbulkan permusuhan dan ketakutan. Terjadi kontraksi sosial di tengah masyarakat, saling curiga, saling tidak percaya. Tidak ada kebebasan menyampaikan aspirasi dan pendapat, segenap rakyat diliputi ketakutan.

“Menyuarakan aspirasi ganti Presiden lewat kasus saja di persekusi. Ulama dikriminalisasi, sampai hari ini tidak jelas bagaimana status Habib Rizq Syihab” ungkap Dudung.

Direktur LBH Hidayatullah ini juga menceritakan bagaimana sulitnya mencari akademisi untuk menjadi ahli dalam kasus yang ditanganinya. Saat mendampingi ulama yang dikriminalisasi di Sumatera utara, Dudung berkeliling mencari akademisi untuk menjadi ahli, tetapi semua menolak.

“Ada semacam ketakutan yang menghinggapi kalangan akademisi dan intelektual, mereka khawatir dipersekusi, dikriminalisasi ketika mengungkapkan ilmu yang dimiliki melalui forum pengadilan, mereka khawatir di Suteki-kan” Sambung Advokat yang juga aktif menjadi pengajar ini.

Adapun Busyara, melihat ada nuansa anti Islam dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Setiap ghirah dan semangat keislaman dicurigai, dipersoalkan.

“Kami mengadvokasi Dosen di Padang yang dipecat karena ‘Cadar’. Hingga hari ini, belum ada keputusan Banding Administratif terhadap pemecatan dosen yang berstatus ASN ini. Kami membuat riset terbatas, setidaknya ada 17 kampus yang phobi terhadap cadar. Bahkan, ada kampus yang menuangkan larangan menggunakan cadar berdalih disiplin berpakaian dilingkungan sivitas akademika, dalam statuta kampus yang mereka adopsi” terang Busyara.

Busyara juga menghimbau agar LBH – LBH yang ada tidak bertindak reaktif, hanya menjadi ‘pemadam kebakaran’. Dia mengusulkan upaya Advoksi sejak proses legislasi, agar produk hukum dan perundangan berpihak kepada umat Islam.

Direktur LKBH USAHID menyatakan pemimpin tidak saja pinter, tapi harus memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Pemimpin yang pintar, cenderung hanya untuk ‘minteri’ rakyat.

“Selain itu, kita tidak bisa pungkiri konsekuensi sistem politik yang ada hanya memberi pilihan kepada kita untuk merubah keadaan ini dari dalam sistem. Karena itu pemilu dan Pilpres ini sangat menentukan arah dan masa depan penegakan hukum di Indonesia” jelas Wahyu, yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan untuk meraih gelar doktor.

Wahyu menceritakan pengalamannya mengadvokasi rakyat kecil yang tidak mendapat akses keadilan dan perlindungan hukum. Masih menurut Wahyu, problem hukum saat ini perlu mendapat perhatian semua Pihak.

KH Ainul Yaqin menegaskan, problem penegakan hukum itu ada pada sistem dan penegak hukumnya. Hukum di negeri ini berasal dari sistem sekuler, produk akal, bukan bersumber dari dzat yang maha adil. Jadi mustahil, memperoleh keadilan dari hukum buatan manusia.

Problem selanjutnya juga ada pada penegak hukum yang tidak taat, tidak memiliki kesadaran bahwa seluruh hidupnya akan dimintai pertanggungjawaban. Hukum yang dijalankan bukan atas dasar ketaatan, pasti menghasilkan kezaliman.

“Coba kita perhatian sejarah peradaban Islam, ketika hukum Allah SWT ditegakkan oleh pribadi yang taat. Bukan hanya umat Islam, orang Yahudi pun mendapat keadilan dari Islam” terang Kiyai Ainul.

Beliau kemudian menceritakan bagaimana adilnya penegakan hukum di era Nabi SAW, Era Khulafaur Rasyidin bahkan hingga Era Kekhalifahan Turki Utsmani. Di Era Umar Bin Khatab RA, seorang Yahudi mengadu tentang kezaliman Gubernur Amr bin Ash terhadapnya. Karena keadilan hukum Islam dan ketaatan pemimpinnya, si Yahudi mendapat keadilan dan mendapatkan kembali rumahnya yang sebelumya terkena Projek penggusuran Gubernur Amr Bin Ash.

Chandra, dalam pemaparannya menilai di era rezim Jokowi ini represif dan anti Islam. Banyak kasus yang dialami oleh ulama, habaib dan aktivis Islam mendapat kezaliman dari rezim karena kritis dan konsisten mendakwahkan agama Islam.

“Kriminalisasi bendera tauhid, ajaran Islam khilafah, itu terjadi di era Jokowi. Kasus Penistaan agama seperti yang dilakukan Ahok, Busukma, Ade Armando, Victor laiskodat, itu semua terjadi di era Jokowi” tegasnya.

Masih menurut Chandra, masa depan penegakan hukum bangsa Indonesia sangat ditentukan siapa yang menjadi Presiden pada Pilpres 2019. Jika rezim ini tidak berganti, maka kezaliman dan represifme terhadap umat Islam rasanya sulit dihentikan.

Beberapa tokoh yang hadir seperti Habib Khalilullah Al Habay, Tokoh SI, aktivis LBH LAKI, Hidayatullah, hadir dan diantaranya memberikan pandangan. Nuansa diskusi terjadi begitu cair, sampai tidak terasa diskusi berlangsung hingga pukul 12.30 WIB.

Diskusi yang berlangsung nyaris 3 (tiga) jam lebih ini kemudian ditutup dengan doa. Pasca diskusi, seluruh peserta berpose foto bersama bersama Nara Sumber. Tidak lupa, panitia menyerahkan cinderamata kepada Nara Sumber yang hadir. []

Sumber: shautululama.co

Share artikel ini: