Direktur LBH Hidayatullah ini juga menceritakan bagaimana sulitnya mencari akademisi untuk menjadi ahli dalam kasus yang ditanganinya. Saat mendampingi ulama yang dikriminalisasi di Sumatera utara, Dudung berkeliling mencari akademisi untuk menjadi ahli, tetapi semua menolak.
“Ada semacam ketakutan yang menghinggapi kalangan akademisi dan intelektual, mereka khawatir dipersekusi, dikriminalisasi ketika mengungkapkan ilmu yang dimiliki melalui forum pengadilan, mereka khawatir di Suteki-kan” Sambung Advokat yang juga aktif menjadi pengajar ini.
Adapun Busyara, melihat ada nuansa anti Islam dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Setiap ghirah dan semangat keislaman dicurigai, dipersoalkan.
“Kami mengadvokasi Dosen di Padang yang dipecat karena ‘Cadar’. Hingga hari ini, belum ada keputusan Banding Administratif terhadap pemecatan dosen yang berstatus ASN ini. Kami membuat riset terbatas, setidaknya ada 17 kampus yang phobi terhadap cadar. Bahkan, ada kampus yang menuangkan larangan menggunakan cadar berdalih disiplin berpakaian dilingkungan sivitas akademika, dalam statuta kampus yang mereka adopsi” terang Busyara.
Busyara juga menghimbau agar LBH – LBH yang ada tidak bertindak reaktif, hanya menjadi ‘pemadam kebakaran’. Dia mengusulkan upaya Advoksi sejak proses legislasi, agar produk hukum dan perundangan berpihak kepada umat Islam.
Direktur LKBH USAHID menyatakan pemimpin tidak saja pinter, tapi harus memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Pemimpin yang pintar, cenderung hanya untuk ‘minteri’ rakyat.
“Selain itu, kita tidak bisa pungkiri konsekuensi sistem politik yang ada hanya memberi pilihan kepada kita untuk merubah keadaan ini dari dalam sistem. Karena itu pemilu dan Pilpres ini sangat menentukan arah dan masa depan penegakan hukum di Indonesia” jelas Wahyu, yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan untuk meraih gelar doktor.
Wahyu menceritakan pengalamannya mengadvokasi rakyat kecil yang tidak mendapat akses keadilan dan perlindungan hukum. Masih menurut Wahyu, problem hukum saat ini perlu mendapat perhatian semua Pihak.
KH Ainul Yaqin menegaskan, problem penegakan hukum itu ada pada sistem dan penegak hukumnya. Hukum di negeri ini berasal dari sistem sekuler, produk akal, bukan bersumber dari dzat yang maha adil. Jadi mustahil, memperoleh keadilan dari hukum buatan manusia.
Problem selanjutnya juga ada pada penegak hukum yang tidak taat, tidak memiliki kesadaran bahwa seluruh hidupnya akan dimintai pertanggungjawaban. Hukum yang dijalankan bukan atas dasar ketaatan, pasti menghasilkan kezaliman.
“Coba kita perhatian sejarah peradaban Islam, ketika hukum Allah SWT ditegakkan oleh pribadi yang taat. Bukan hanya umat Islam, orang Yahudi pun mendapat keadilan dari Islam” terang Kiyai Ainul.