Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. | Ketua LBH PELITA UMAT
Pada Kamis (25/7), bertempat di Kota Apel, Malang, penulis berkesempatan menjadi salah satu Nara Sumber dalam diskusi tokoh Muslim Intelektual Club Malang, mengambil tema ‘Islam vs Radikalisme’. Tema diskusi secara gramatikal telah membentuk polaritas antara Islam dan Radikalisme. Seolah, penyelenggara ingin membuat kesimpulan Deduktif di awal diskusi, bahwa Islam itu bukan radikal, dan radikalisme itu bukan Islam.
Sebelumya, dalam forum diskusi Islamic Lawyers Forum (ILF) di Jakarta (21/7), dimana penulis sendiri menjadi Pengampu diskusi telah mengambil tema yang mirip, yakni ‘Radikalisme Islam, Isu Hukum atau Isu Politik ?’. Nampaknya, isu radikalisme ini penting untuk dibahas ulang, sehingga penyelenggara juga mengambil tema yang masih berkaitan.
Pada sesi pemaparan, setelah pembicara pertama dari Undip, Prof Suteki, SH MHum, penulis memaparkan kesimpulan awal yang diperoleh dari didkusi ILF di Jakarta, yakni :
Pertama, radikalisme itu isu politik yang meminjam legitimasi hukum. Artinya, ada motif politik dibalik digulirkannya isu radikalisme. Sementara, hukum hanyalah alat untuk melegitimasi kebijakan politik yang meminjam sarana isu radikalisme.
Kedua, motif politik dibalik isu radikalisme adalah upaya terstruktur yang menggunakan dan/atau meminjam kekuasaan negara, untuk membungkam atau setidaknya menghambat laju kebangkitan Islam. Motif ini dibungkus kebijakan hukum, yang dijadikan sarana untuk mengkriminalisasi elemen pergerakan Islam dalam kancah interaksi sosial ditengah masyarakat.
Ketiga, kebangkitan yang dimaksud adalah kebangkitan Islam politik, bukan sekedar Islam spiritual. Yang dihambat oleh rezim adalah perkembangan dan kebangkitan gerakan Islam yang menginginkan syariat Islam diterapkan secara kaffah, baik dalam kehidupan pribadi, kelompok masyarakat hingga bernegara.
Keempat, aktor dibalik isu radikalisme adalah kapitalisme barat. Sementara, rezim saat ini hanya mengimpor dan menjajakannya kepada masyarakat, dengan tujuan untuk melindungi kekuasaannya yang rapuh. Radikalisme adalah babak baru pertarungan politik ideologi kapitalisme global melawan Islam, setelah gagal menjual isu terorisme.
Penulis sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Prof Suteki, bahwa istilah radikalisme tidak dikenal dalam nomenklatur hukum bahkan tidak ada definisi bakunya. Radikalisme lebih nampak sebagai alat politik yang diterapkan untuk menghakimi lawan politik dengan tudingan sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas.
Tudingan ASN terpapar radikalisme, Dosen radikal, Masjid radikal, kampus Radikal, ustadz Radikal, semuanya tidak memiliki argumentasi hukum. Tudingan yang ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi baik sanksi hukum maupun sanksi sosial hanya dibangun di atas narasi politik, politik yang berbasis pada nilai Islamophobia.
Yang terbaru, misalnya tudingan ASN terpapar radikalisme yang diungkapkan Ganjar Pranowo, bahkan permintaan mengundurkan diri sebelum dipecat adalah contoh narasi politik yang ingin menghantam kebangkitan Islam di lingkungan ASN. Pernyataan Gubernur Jateng ini tidak ada dasar hukumnya, murni tendensi politik.
Jika merujuk ketentuan pasal 87 UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN), pemberhentian status ASN itu sangat limitatif. Dan, tidak ada satupun sebab pemberhentian ASN yang diatur UU karena terpapar atau apalagi tudingan radikalisme.
Radikalisme itu sendiri tidak memiliki Devinisi baku, di dalam UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan UU terorisme, hanya mengatur tentang tindakan pencegahan terorisme dengan dua pendekatan : deradikalisasi dan kontra Radikalisasi. (Pasal 43A ayat 3). Artinya, secara hukum istilah radikalisme itu sendiri belum terdefinisikan secara jelas dan lengkap.
Berbeda dengan Radikalisme, istilah terorisme justru telah memiliki definisi baku. Di dalam ketentuan pasal 1 ayat (2) UU No. 5 tahun 2018 dijelaskan bahwa :
“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”.
Karena itu, menurut hemat penulis radikalisme ini harus dilawan. Karena isu radikalisme ini bukan isu penegakan hukum dari potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Radikalisme murni isu politik yang dimainkan rezim untuk menutupi kebobrokan rezim sekaligus untuk membungkam kebangkitan gerakan Islam.
Alhamdulilah, di dalam diskusi sekitar 2,5 jam yang dihadiri tokoh dan intelektual muslim Malang ini berjalan ‘Gayeng’. Nampak, sekitar 70 an peserta hadir memenuhi ruangan diskusi, dengan 4 (empat) orang mengajukan pertanyaan dan tanggapan. []