Oleh : M. Ismail Yusanto
Dalam konteks peran agama, termasuk Islam, dalam politik, ada tiga pilihan posisi
Pertama, menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik. Dalam posisi ini, agama hanya ditempatkan dalam konteks hubungan individu dengan Tuhannya saja. Dia tidak punya kepentingan untuk memberikan arah kepada masyarakat karena baginya itu masalah duniawi sementara agama hanya konsern pada urusan ukhrawi
Kedua, agama mencoba untuk turut berperan, tapi hanya pada masalah etika. Ia tidak mau terlibat terlalu jauh dalam urusan politik karena itu dianggap akan mengotori agama. Dengan berperan seperti ini, agama dianggap akan tetap terjaga kesuciannya dan netral dari berbagai tarikan kepentingan politik. Ketiga, agama berperan aktif, bahkan ia menjadi inti dari setiap dinamika politik.
Pilihan tepat yang harus diambil Islam tentu saja adalah posisi tiga. Memilih posisi kedua apalagi kesatu menunjukkan agama yang lemah. Agama seperti ini tentu tidak memiliki banyak guna karena agama diturunkan justru untuk kepentingan mengatur hidup manusia di dunia
Pilihan alternatif ketiga ini sangat cocok dengan karakter Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya tapi juga hubungan antar manusia, bahkan dalam sejarah Islam telah mengambil peran sangat nyata dalam perubahan-perubahan besar peradaban dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam konteks peran ketiga, secara pasti Islam akan berhadapan dengan tiga pertanyaan pokok. Pertama, bagaimana Islam memposisikan atau melakukan penilaian terhadap masyarakat yang ada sekarang; Kedua, gambaran tentang tatanan masyarakat ideal seperti apa yang dicita-citakan; dan Ketiga, bagaimana perubahan masyarakat yang ada sekarang kepada masyarakat yang dicita-dicitakannya itu akan dilakukan
Salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi atau mabda’ adalah memang bagaimana merubah masyarakat sesuai dengan visi dan cita-citanya mengenai transformasi sosial
Tidak hanya Islam, bahkan semua ideologi menghadapi suatu pertanyaan pokok, bagaimana merubah masyarakat dari kondisi yang ada sekarang menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan idealnya. Sebagai sebuah ideologi, Islam menderivasikan pemikiran-pemikiran sosialnya dari dalil-dalil untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat Islami
Oleh karena itu, menjadi sangat jelas bahwa realitas sosial dalam kaca mata Islam bukan hanya untuk dipahami, tapi juga diubah dan dikendalikan. Dan ini berakar pada misi ideologisnya, yakni cita-cita untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar pada masyarakat dalam kerangka mewujudkan nilai-nilai tauhidullah (mengesakan Allah)
Jadi, apa yang harus dilakukan? Umat Islam harus bangkit. Tekad itu memang mulai menyebar ke tengah umat semenjak dicanangkannya abad 15 Hijriah sebagai abad kebangkitan Islam. Tapi apa yang disebut bangkit atau kebangkitan, agaknya beragam orang memahaminya
Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab Nidzamu al-Islam menyatakan bahwa kebangkitan yang hakiki harus dimulai dengan perubahan pemikiran (taghyiru al-afkar) secara mendasar (asasiyan) dan menyeluruh (syamilan) menyangkut pemikiran tentang kehidupan, alam semesta dan manusia, serta hubungan antara kehidupan dunia dengan sebelum dan sesudahnya
Pemikiran yang membentuk pemahaman (mafahim) akan mempengaruhi tingkah laku. Akan terwujud tingkah laku Islamy bila pada diri seorang muslim tertanam pemahaman Islam. Dengan demikian kebangkitan umat Islam adalah kembalinya pemahaman seluruh ajaran Islam ke dalam diri umat dan terselenggaranya pengaturan kehidupan masyarakat dengan cara Islam
Untuk itu diperlukan dakwah. Dan dakwah di tengah kemunduran umat seperti sekarang ini – akibat tidak adanya kehidupan Islam – menurut Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Manhaj haruslah berupa “dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam” (da’wah li isti’nafi al-hayati al-islamiyyah)[]