Islam Mengikis Habis Penyimpangan Seksual (Tanggapan atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Tolak Upaya Kriminalisasi LGBT dan Hubungan di Luar Nikah)
Oleh : Achmad Fathoni | Direktur el-Harokah Research Center
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan memperluas pasal perzinaan di KUHP. Putusan MK dihasilkan lewat ’dissenting opinion’ dengan komposisi 5:4. “Amar putusan mengadili menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Arif Hidayat di persidangan, kamis (14/12), seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Tito Sianipar. Dalam putusan yang dibacakan Kamis (14/12), dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan baru. MK juga menyatakan bahwa pasal-pasa KUHP yang dimohonkan untuk diuji-materi, tidak bertentangan dengan konstitusi.
Ada tiga pasal KUHP yang dimohon untuk diuji oleh MK, Pertama, Pasal 284 tentang perzinaan, yang tadinya terbatas dalam kaitan pernikahan dimohonkan untuk diperluas ke konteks di luar pernikahan. Kedua, Pasal 285 tentang perkosaan, yang tadinya terbatas laki-laki terhadap perempuan, dimintakan untuk diperluas ke laki-laki ke laki-laki ataupun perempuan ke laki-laki. Ketiga, Pasal 292 tentang pencabulan anak, yang asalnya sesama jenis laki-laki dewasa terhadap yang belum dewasa, dimintakan untuk dihilangkan batasan umurnya.
Tentu saja keputusan penolakan MK tersebut patut disayangkan oleh publik. Pasalnya Keputusan penolakan uji materi terhadap pasal-pasal KUHP yang dirasa kurang lengkap dalam memberantas samapi ke akar-akarnya perilaku penyimpangan seksual, justru malah ditolak. Tentu saja keputusan MK tersebut sangat gegabah dan tidak mengindahkan aturan agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas warga Negara Indonesia. Menurut Prof. Suteki, Pakar Hukum dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah, pernah menyatakan berdasar undang-undang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Hakim (dalam memutuskan perkara) tidak boleh hanya berdasarkan undang-undang semata, namun harus memperhatikan keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (transendental). Dengan kata lain, setiap keputusan hakim harus memperhatikan unsur moral, etik, dan religion (norma agama). Artinya setiap hakim sudah seharusnya memperhatikan norma-norma agama yang ada di masyarakat, apalagi Indonesia sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam, tentu sudah sepatutnya norma-norma agama Islam diperhatikan dalam memutuskan perkara.
Dalam khasanah hukum Islam pelaku kejahatan perzinaan dikategorikan tindak kriminal berat. Pelakunya yang telah terbukti melakukan tindakan perzinaan diberlakukan sanksi yang setimpal yaitu hukuman cambuk seratus kali atau hukuman rajam (dilempar batu hingga meninggal). Untuk sanksi cambuk seratus kali diterapkan bagi pelaku zina ghairu mukhshan, yaitu pelakunya adalah masih perjaka atau gadis, atau yang belum pernah menikah. Sementara sanksi rajam, diterapkan bagi pelaku zina mukhshan, yaitu pelakunya sudah pernah menikah. Sementara pelaku perzinaan yang dilakukan oleh sesame jenis, yaitu laki-laki dengan laki-laki, maka sesuai dengan hukum Islam diterapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya. Sementara jika pelaku perzinaan sesame jenis yaitu perempuan dengan perempuan, maka diterapkan hukum takzir (sanksi pidananya diserahkan sepenuhnya oleh hakim sesuai dengan hasil ijihadnya).
Oleh karena itu, dari paparan tersebut maka satu-satunya hukum yang bisa memberantas pelaku tindak kejahatan ‘kumpul kebo’ atau perzinaan adalah hukum Islam saja. Selain itu penerapan sanksi pidana dalam hukum Islam mempunyai dua tujuan mulia, yaitu jawabir (sebagai penebus dosa) dan zawajir (fungsi preventif, yaitu mencegah pihak lain untuk melakukan tindakan yang sama). Itulah kebaikan dan keadilah hukum Islam. Wallahu a’lam. []