Islam Melindungi Para Pedagang

Oleh: Yuli Sarwanto (Direktur FAKTA)

Di tengah pandemi corona, sebagian para pedagang kecil banyak yang merasa ‘terpukul’. Sehingga perlu upaya perlindungan terhadap nasib para pedagang kecil khususnya. Perdagangan sendiri adalah kegiatan yang disyariatkan oleh Allah Swt. untuk dilakukan. Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku- suka sama suka di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 29).

Karena keberadaannya yang mubah, Islam mengatur kegiatan perdagangan agar berlangsung dengan lancar, adil dan tidak ada pihak yang dirugikan. Tujuannya adalah untuk menjamin keberadaan semua pedagang, besar maupun kecil, tanpa membedakan keduanya. Pengaturan tersebut dapat menjamin pedagang kecil dapat terus berusaha dan tidak kawatir tergusur oleh keberadaan pedagang besar dan modern. Pedagang besar pun dijamin dapat mengembangkan usahanya tanpa ada hambatan dari negara.

Islam menjamin semua pedagang yang menjadi warga negara Daulah Islam. Perdagangan, dari segi ruang lingkupnya, dibedakan menjadi perdagangan dalam negeri (domestik) dan perdagangan luar negeri (ekspor-impor). Perdagangan domestik adalah transaksi perdagangan yang terjadi di antara individu warga negara Daulah Islam. Untuk perdagangan domestik, ketentuannya adalah sangat mudah, yakni sesuai dengan hukum-hukum jual-beli yang telah dinyatakan syariah.

Adapun perdagangan luar negeri secara umum didasarkan pada siapa yang melaksanakan aktivitas perdagangan tersebut, apakah warga negara sendiri atau warga negara asing. Karenanya, perdagangan luar negeri didasarkan pada asal pedagangnya, bukan asal komoditinya.

Ketentuan lain yang berhubungan dengan perdagangan luar negeri adalah ketentuan tarif (pajak) ekspor dan impor. Pedagang yang merupakan warga negara Daulah Islam tidak boleh dikenai pajak (tarif/bea cukai) ekspor maupun impor oleh negara. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw.:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai (HR Abu Dawud, Ahmad dan ad-Darimi).

Adapun pengambilan beacukai atau tarif (pajak) ekspor dan impor dari pedagang-pedagang yang bukan dari warga Negara Islam adalah boleh. Namun, negara dapat juga membebaskan mereka dari pajak atau biaya apapun jika itu dipandang baik bagi kemaslahatan kaum Muslim.

Dengan demikian, Islam melihat posisi pedagang dari besar-kecilnya perdagangan yang mereka lakukan, artinya tidak membedakan antara pedagang besar dan pedagang kecil. Yang diperhatikan apakah mereka warga negara atau bukan warga negara.

Setiap pedagang, besar maupun kecil, yang merupakan warga negara berdasarkan syariah Islam akan mendapatkan perlakukan yang sama serta mendapat jaminan kesempatan dan peluang yang sama untuk menjalankan kegiatan usahanya. Negara akan memfasilitasi pedagang besar untuk menjalankan usahanya agar berjalan dengan lancar sekaligus menjamin agar pedagang kecil dapat tetap berusaha tanpa harus kalah bersaing dengan pedagang besar.

Negara juga menjamin mekanisme pasar. Dengan berjalannya mekanisme ekonomi/pasar, kegiatan perdagangan berjalan secara wajar, alami dan menguntungkan. Hal ini akan dialami seluruh pedagang kecil maupun besar. Karenanya, persaingan berjalan secara fair. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam berusaha akan memperoleh peluang lebih baik dibandingkan dengan yang malas. Sebab, semua fasilitas dimiliki semuanya.

Beberapa mekanisme ekonomi yang ditempuh Sistem Ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan kegiatan perdagangan yang fair dan adil adalah: Pertama, memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya kegiatan perdagangan yang fair dengan jalan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Prasarana jalan yang baik, pasar yang lengkap, sarana transportasi dan komunikasi yang memadai adalah beberapa prasarana yang harus tersedia. Selain itu penyediaan pusat-pusat informasi pasar/harga akan membuat harga tidak terdistorsi sehingga tidak ada monopoli pedagang terhadap komoditas tertentu. Karenanya, perbaikan fasilitas pasar-pasar tradisional tetap menjadi prioritas selain kebijakan yang membolehkan tumbuhnya pasar-pasar modern di perkotaan.

Kedua, menggalakkan kegiatan pedagangan dan mendorong pusat-pusat perdagangan dengan bantuan modal usaha. Islam memerintahkan agar harta beredar di seluruh anggota masyarakat, tidak hanya beredar di kalangan tertentu, sementara kelompok lainnya tidak mendapat kesempatan. Caranya adalah dengan menggalakkan kegiatan bisnis dan perdagangan. Untuk itu, negara menjadi fasilitator antara orang-orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk mengelola dan mengembangkan hartanya dengan para pengelola yang profesional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka dipertemukan dalam kegiatan perseroan (syirkah).

Negara juga dapat memberikan pinjaman modal kepada orang-orang yang memerlukan modal usaha tanpa dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat saja diberikan modal usaha secara cuma-cuma sebagai hadiah agar ia tidak terbebani untuk mengembalikan pinjaman.

Ketiga, melarang kegiatan yang dapat mendistorsi pasar. Beberapa kegiatan yang dapat mendistorsi pasar dilarang oleh negara. Hal ini karena pasar yang terdistorsi akan menyebabkan mekanisme harga/pasar tidak berjalan dan akan menimbulkan penindasan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.[]

Share artikel ini: