Oleh: M. Amin (Direktur Poverty Care)
Berbeda dengan sistem kapitalis yang menyerahkan jaminan sosial kepada swasta atau individu, dalam Sistem Ekonomi Islam, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan pokok masyarakat berupa kesehatan, pendidikan dan keamanan menjadi tanggung jawab negara. Secara konseptual maupun praktikal jaminan tersebut telah dinyatakan oleh oleh Rasulullah saw. dan dilaksanakan oleh beliau sebagai kepala negara. Kebijakan ini diikuti oleh para khalifah setelah beliau mulai Khulafaur Rasyidin ra. sampai khalifah terakhir.
Islam telah memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat bukan saja di dunia atau saat hidup. Bahkan saat seseorang meninggal pun Islam masih memberinya jaminan. Rasulullah saw. bersabda:
فَأَيِّمَا مُؤْمِنٍ مَاتَ وَتَرَكَ مَاﻻً فَلْيَرِثْهُ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِي فَأَنَا مَوْلاَهُ
Siapa saja yang mati dan meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya. Siapa saja yang mati dan dia meninggalkan utang atau orang-orang lemah maka datanglah kepadaku karena akulah penanggung jawabnya.
Dalam praktiknya jaminan yang diberikan dalam Islam dikelompokkan menjadi dua: jaminan kebutuhan pokok setiap individu dan jaminan kebutuhan pokok masyarakat. Jaminan kebutuhan pokok individu adalah kebutuhan yang dibutuhkan individu tanpa melihat usia, waktu, maupun kondisi. Jaminan kebutuhan pokok masyarakat adalah kebutuhan yang mutlak harus disediakan oleh negara secara langsung. Dengan itu setiap anggota masyarakat tanpa kecuali berkesempatan untuk bisa merasakannya saat membutuhkan, seperti jaminan kesehatan.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok individu dalam bentuk sandang, pangan dan papan, negara memberikan jaminan dalam bentuk mekanisme tidak langsung. Artinya, negara berusaha mendorong dan memfasilitasi setiap individu untuk bekerja terlebih dulu secara mandiri sesuai dengan kemampuan. Konsekuensinya, karena setiap individu akan berbeda-beda kemampuan dan keahliannya, maka bentuk pemenuhannya berbeda-beda antar individu. Misal, dari sisi papan atau perumahan, ada individu yang bisa membuat rumah yang mewah, sementara yang lain hanya bisa membangun rumah yang sederhana meski tetap memenuhi kelayakan sebuah rumah, baik secara syar’i maupun aspek kesehatan. Namun, jika dengan dorongan dan fasilitas yang disediakan oleh negara mereka belum juga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka di sinilah peran negara secara langsung memberikan jaminan kepada individu tersebut.
Dengan demikian, mekanisme pemenuhan kebutuhan pokok individu adalah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: Pertama, memerintahkan setiap kepala keluarga bekerja (QS 62: 10) demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu (QS 2: 233). Gabungan kemaslahatan di dunia dan pahala di akhirat itu menjadi dorongan besar untuk bekerja. Kedua, mewajibkan negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Ketiga, mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu (QS 2: 233). Keempat, jika ada orang yang tidak mampu, sementara kerabat dan ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu menanggung nafkahnya, maka nafkahnya menjadi kewajiban negara (Baitul Mal). Dalam hal ini, negara bisa menggunakan harta milik negara, harta milik umum, juga harta zakat. Jaminan pemenuhan tersebut diberikan oleh negara kepada seluruh rakyat, baik Muslim maupun non muslim.
Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan keamanan juga merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individual berupa barang (pangan, sandang dan papan) yang dijamin negara melalui mekanisme yang bertahap, maka jaminan pemenuhan masyarakat berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan ditempuh negara dengan mekanisme langsung, berlaku bagi seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim; baik kaya maupun miskin—mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Oleh karena itu, jaminan sosial dalam sistem kapitalis, termasuk yang diterapkan di Indonesia saat ini yang memberikan pendidikan dan kesehatan gratis hanya untuk orang miskin, adalah bertentangan dengan Islam.
Dalam sistem Islam jaminan kebutuhan dasar merupakan kewajiban negara sebagai bentuk pelayaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Untuk merealisasikan jaminan ini tentu dibutuhkan dana besar. Untuk itu syariah telah mengatur pengelolaan keuangan negara (APBN) secara rinci. Abdul Qadim Zallum (1983) dalam bukunya, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan negara (Baitul Mal). Secara garis besar, sumber pendapatan negara (Baitul Mal) ada empat. Pertama: Harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara seperti barang tambang (emas, perak, minyak, gas, dll), kekayaan laut, kekayaan hutan, dll. Kedua: fa’i, kharaj, ghanimah dan jizyah serta harta milik negara lainnya. Ketiga: Harta zakat. Keempat: Sumber pemasukan temporal, yaitu pemasukan-pemasukan negara yang bersifat temporal dan non-budgeter di antaranya: infak, wakaf, sedekah, hadiah, harta penguasa yang ilegal (ghulul/haram/hasil korupsi), harta orang-orang murtad dan lain-lain. Dari semua itu, sumber yang utama adalah hasil dari pengelolaan harta milik umum. Potensi pemasukan dari jenis pertama ini sangat besar di Dunia Islam. Untuk Indonesia saja, jika kekayaan alam dikelola dengan benar sesuai syariah, APBN Indonesia akan mendapatkan pemasukan setiap tahunnya sebesar Rp 1764 triliun hanya dari satu sumber saja, yaitu kepemilikan umum yang dikelola oleh negara seperti migas, emas, batubara dan yang lainnya. Bandingkan dengan APBN Indonesia Tahun 2020.[]