Mediaumat.news – Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (Iress) Marwan Batubara menolak rencana privatisasi anak usaha BUMN pro oligarki. “Putusan MK atas Perkara No.61/2020 harus ditolak dan rencana privatisasi sub-holding BUMN, terutama Pertamina dan PLN harus dihentikan,” ujarnya dalam surat terbuka untuk Presiden Jokowi, Rabu (6/10/2021).
Karena, ungkap Marwan, memilih mata rantai bisnis BUMN menguntungkan, dikelompokkan dalam sejumlah sub-holding, lalu sebagian sahamnya dijual kepada asing dan oligarki atas nama “mencari dana murah” dan “meningkatkan GCG”, merupakan modus penghisapan dan penjajahan kapitalis liberal/oligarki yang harus dihentikan.
“Dana murah, atau bahkan hibah, terbukti dapat diperoleh Pertamina dan PLN tanpa IPO. GCG dapat ditingkatkan dengan menghentikan intervensi pemerintah dan menjadikan BUMN sebagai non-listed public company,” tegasnya.
Maka, tegas Marwan, rencana IPO sub-holding yang anti Pancasila, inkonstitusional dan merugikan rakyat tersebut harus segera dihentikan. “Kata Erick Thohir: ‘BUMN bukan Badan Usaha Milik Nenek Moyang lu’. Presiden Jokowi dan Erick Thohir perlu konsisten dan tidak hipokrit dengan pernyataan ini!” tegasnya.
Delapan Poin
Menurutnya, privatisasi melalui initial public offering (IPO) anak usaha (sub-holding) BUMN jelas akan merugikan negara, BUMN dan rakyat secara ekonomi, keuangan, sosial, politik, ketahanan dan kemandirian energi. “Rencana Pemerintahan Jokowi ini harus dihentikan karena banyak hal seperti diuraikan berikut,” ungkapnya.
Pertama, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, melanggar prinsip “penguasaan negara” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, terutama karena jika sebagian sahamnya dijual, maka keuntungan BUMN tidak maksimal, tetapi sebagian jatuh kepada investor dan oligarki. “Menurut logika akal sehat, penguasaan negara menjadi absurd jika tidak diiringi perolehan untung maksimal!” tegasnya.
Kedua, karena profit BUMN turun, maka kemampuan tugas perintisan dan pembangunan daerah pun ikut berkurang. “Pada prinsipnya, karena sebagian saham anak-anak usaha BUMN yang profitbale telah dijual, induk holding BUMN hanya tinggal mengelola anak usaha dan lini bisnis yang kurang menguntungkan atau malah yang merugi. Kondisi ini jelas mengurangi kemampuan BUMN untuk melakukan cross subsidy dan pembangunan daerah,” bebernya.
Ketiga, pemisahan berbagai lini bisnis BUMN menjadi sub-holding merupakan bentuk kebijakan pengelolaan public utilities berdasarkan pola unbundling. “Pola ini merupakan modus yang dipakai negara-negara maju/kapitalis guna menjajah dan menghisap ekonomi negara-negara berkembang. Bukannya menangkal penjajahan asing/liberal, pemerintah Indonesia malah aktif mendukung agenda asing tersebut, dan sejumlah oknum-oknum pejabat yang tergabung oligarki kekuasaan ikut pula berburu rente dalam proses privatisasi tersebut,” sesalnya.
Keempat, proses unbundling pelayanan public utilities di negara-negara maju/liberal telah berdampak pada naiknya tarif energi. Teori ekonomi dan bisnis telah mengkonfirmasi dampak negatif tersebut. Inggris sebagai pionir pola privatisasi/unbundling saat PM Margareth Tatcher berkuasa, saat ini menjadi negara bertarif listrik tertinggi di Eropa. Tercatat konsumen energi di Jerman, Belanda, Belgia dan New Zealand telah memprotes penerapan pola unbundling akibat tarif tinggi.
“Jika IPO sub-holding BUMN pola unbundling dilanjutkan, rakyat Indonesia harus siap mengalami hal yang sama! Namun harap dicatat, di tengah penderitaan konsumen energi, pola unbundling justru memberi keuntungan besar bagi para kapitalis-liberal, di Indonesia keuntungan termasuk dinikmati anggota oligarki,” jelasnya.
Kelima, pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir (12/6/2020) bahwa IPO sub-holding BUMN bertujuan mencari dana murah adalah manipulasi informasi tendensius. Faktanya, ungkap Marwan, Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2021 total obligasi Pertamina sekitar US$ 12,99 miliar dengan tingkat bunga (kupon) 1,4% – 6,5% (weighted average: sekitar 4,60%). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014).
Marwan juga menyebut, kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,60%) yang tidak go public justru lebih rendah atau hampir sama dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. Misalnya kupon-kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017).
“Ini menujukkan meski tidak go public, Pertamina mampu memperoleh ‘dana murah’ dengan tingkat kupon lebih rendah disbanding kupon BUMN yang sudah IPO,” tambahnya.
Keenam, peringkat utang BUMN malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi dijamin pemerintah. “Karena saham negara di Pertamina atau PLN masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina dan PLN otomatis melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO BUMN justru dapat mengakses dana lebih murah. Bahkan BUMN sering memperoleh hibah atau pijaman bunga 0%, hal yang tidak akan diperoleh oleh BUMN yang sudah go public,” ujarnya.
Ketujuh, pernyataan Erick tentang manfaat IPO sub-holding guna meningkatkan GCG (30/7/2020) tidak sepenuhnya benar dan cenderung manipulatif. Sebagian besar masalah kinerja BUMN justru berasal dari pemerintah, seperti menempatkan tim sukses menjadi pengurus BUMN, menunggak beban subsidi, memaksakan public service obligation (PSO) tanpa kompensasi atau menjadikan BUMN sebagai sapi perah. “Cara terbaik memperbaiki GCG BUMN, pemegang privilege konstitusi seperti Pertamina dan PLN, adalah merubah statusnya menjadi non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham,” tegasnya.
Kedelapan, dengan proses unbundling dan cherry picking, maka keuntungan BUMN akan berkurang dan beralih kepada pemegang saham publik. Penurunan untung ini jelas tidak sesuai dengan target yang dijanjikan dalam prospektus saat BUMN menerbitkan obligasi. “Hal ini dapat menyebabkan kredibilitas BUMN menurun dan peringkat utangnya akan memburuk (nilai kupon lebih tinggi). Saat ini menurut Moody’s, S&P dan Fitch peringkat investment grade Pertamina masing-masing pada level baa2, BBB, dan BBB,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it