Mediaumat.id – Menilai kebijakan pemerintah Irak seputar penggantian diksi ‘homoseksualitas’ menjadi ‘penyimpangan seksual’, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menyebutnya penting.
“Diksi itu, intinya itu penting untuk menunjukkan bahwa suatu perbuatan itu (homoseksual) adalah suatu hal yang salah,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (12/8/2023).
Sebab, menurut Farid, perubahan diksi ini termasuk sebuah sosialisasi pemikiran agar istilah homoseksual memiliki konotasi negatif dengan sebelumnya mengubah menjadi ‘penyimpangan seksual’.
“Kalau disebut penyimpangan seksual, itu memiliki konotasi yang negatif,” terangnya.
Dengan kata lain, bakal tersosialisasi ke tengah masyarakat bahwa perilaku homoseksual memang benar-benar bentuk penyimpangan seksual.
Adalah Komisi Komunikasi dan Media Irak (CMC) melarang semua perusahaan media yang beroperasi di negara tersebut menggunakan kata “homoseksualitas” dalam setiap publikasi.
Sebagai gantinya, media-media di Irak diminta untuk menggunakan kata “penyimpangan seksual”. CMC juga melarang penggunaan istilah “gender”.
Tak Cukup
Selanjutnya di samping menjawab perlu, semisal Indonesia, terlebih seluruh negeri Muslim di dunia, meniru kebijakan Irak ini, Farid menegaskan upaya pemberantasan perilaku ini tak cukup hanya dengan perubahan diksi.
“Perlu, tapi tidak cukup dengan diksi tapi harus benar-benar dijelaskan, ditegaskan secara hukum legal, bahwa homoseksualitas itu adalah sebuah bentuk kejahatan atau jarimah,” paparnya.
Pasalnya, perilaku ini bukan hanya penyimpangan seksual tetapi lebih kepada bentuk kekejian bahkan kemaksiatan kepada Allah SWT.
“Suatu bentuk (perilaku) yang bertentangan dengan syariat Islam, yang kalau dalam bahasa Al-Qur’an itu disebut sebagai perbuatan yang fahisyah, keji,” tegasnya, menyinggung QS al-A’raf ayat 80-81 yang artinya:
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan (faahisyah) keji itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”
Sehingga, dibutuhkan aspek, yang menurutnya, juga penting yaitu penegakan hukum. “Apalah artinya sebuah diksi kalau kemudian tidak disertai penegakan hukum,” sebutnya.
Maka di dalam ketentuan Islam, sambung Farid, siapa pun yang melakukan aktivitas menyimpang ini, baik subjek maupun objek, dengan catatan bukan karena ada unsur paksaan, keduanya bakal disanksi sangat keras, yakni pidana mati.
Amar Makruf Nahi Mungkar
Lantas selain ketakwaan individu, yaitu rasa takut seseorang kepada Allah SWT, yang menurut Farid sebagai pencegahan pertama serta paling utama, dan penegakan hukum berikut pidana matinya, diperlukan upaya amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat.
Artinya, dengan amar makruf nahi mungkar, upaya sosialisasi terkait bahaya homoseksual misalnya, kemaksiatan ini tidak akan dibiarkan meluas oleh masyarakat.
Untuk dipahami bersama, catatnya, homoseksualitas bukan sekadar gerakan lokal tetapi global. “Perlu kita catat bahwa gerakan homoseksual ini bukan hanya gerakan yang sifatnya lokal, tapi gerakan homoseksual ini adalah gerakan yang sifatnya global yang dipimpin oleh Amerika,” tandasnya.
Maka semua ini bisa disebut sebagai bagian dari perang peradaban antara Islam dan Barat berikut kapitalisme-liberalismenya.
Karenanya pula, salah satu instrumen penting dari sebuah peradaban dan agar ‘pertarungan’ ini seimbang adalah adanya suatu negara. “Salah satu instrumen penting dari peradaban itu agar pertarungan itu menjadi seimbang adalah negara,” ucapnya.
Namun ia menyayangkan, negara dimaksud hingga kini belum dimiliki umat Islam untuk bisa mewujudkan peradaban yang senantiasa menegakkan serta menyandarkan segala sesuatu hanya berdasarkan Islam. “Negara apakah itu? Negara al-khilafah ala minhaj an-nubuwwah,” pungkasnya.[] Zainul Krian