Bahasan Khilafah itu bahasan syar’iyyah (min al-mabahits al-syar’iyyah), wajib dipahami dengan logika tasyri’iyyah, bukan logika khayaliyyah. Maka salah besar lari dari logika tasyri’iyyah shahihah kepada logika khayaliyyah untuk menegasikan adanya kefardhuan iqamat al-Khilafah.
Harus saya tegaskan: mereka yang menafikan kefardhuan menegakkan Khilafah selama ini, terbukti dalam dunia perdebatan, hanya bertolak dari logika khayaliyyah, tak ada yang berbobot ilmiah. Pendapat mereka tidak layak dilirik, dan wajib diabaikan.
Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H), ahli tafsir dan fikih yang menyusun kitab tafsir otoritatif yang memuat sajian fikih, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Keseluruhan dari Hukum-Hukum Al-Qur’an), tatkala menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Beliau menegaskan dalam kitab tafsirya tersebut: “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan, beliau kemudian menegaskan:
هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه
Ayat ini adalah ashl dari mengangkat Imam dan Khalifah yang didengar (perintahnya) dan dita’ati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum kepemimpinan Khalifah dengan keberadaannya. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan umat dan para imam madzhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham yang tuli tentang syariah, begitu pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.[1]
Padahal, al-Asham al-Mu’tazili dengan pendapat kontroversialnya (syadz) yang dipaparkan al-Qurthubi, tersirat masih mengakui wajibnya formalisasi syari’ah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yakni jika berbagai kewajiban syari’ah telah terlaksana, maka menurutnya tidak wajib mengangkat Khalifah. Dalam hal ini al-Asham tidak menyatakan “haram”, “berbahaya”, “radikal”, “ajaran teroris” dan perkataan-perkataan keji lainnya yang seringkali didengungkan kaum liberal di zaman ini. Artinya, jika al-Asham dengan pendapat syadz (tidak wajib) seperti itu saja divonis tuli terhadap hukum syari’at oleh ulama pakar tafsir dan fikih al-Hafizh al-Qurthubi, lalu bagaimana dengan kaum liberal penolak dan penista kewajiban penegakkan Khilafah? Kaum liberal yang selama ini tak kelu menstigma negatif Khilafah sebagai sesuatu yang berbahaya? Tentunya dengan logika al-Qurthubi, kondisi mereka jauh lebih buruk daripada al-Asham dan para pengikutnya.
Istilah “tuli terhadap syari’ah” dalam bahasa al-Qurthubi, menunjukkan bahwa pembahasan kefardhuan al-imâmah (Khilafah) dalam Islam itu persoalan hukum syari’ah yang sudah diketahui dan disepakati oleh para ulama, sehingga mereka yang menyelisihinya layak dinilai syadz, kontroversial, tidak bernilai dan keluar dari pendapat mu’tabar. Ditegaskan oleh al-Qurthubi dengan menukil dalil kokoh, ijma’ sahabat , yang menjadi sejelas-jelasnya dalil syara’ kewajiban menegakkan Khilafah, mengangkat Khalifah; menunjukkan bahwa kewajiban tersebut didasarkan pada dalil-dalil al-sam’i (bukan ‘aqli). Al-Qurthubi menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين
Al-Imâmah merupakan fondasi dari fondasi-fondasi agama ini, dimana dengannya tegak fondasi kaum Muslim.[2]
Irfan Abu Naveed
Penulis “Konsep Baku Khilafah Islamiyyah” :: Dosen Fikih Siyasah/Manthiq/Bahasa Arab
Marja’:
[1] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz I, hlm. 264.
[2] Ibid., hlm. 265.