Mediaumat.id – Menanggapi pernyataan Dirut PLN yang menyebut saat ini di PLN 60 persen diisi karyawan milenial, Koordinator Indonesian Valuation for Energy and Infrastructur (Invest) Ahmad Daryoko menyatakan keberadaan Dirut PLN saat ini bermain dua panggung. “Dan Dirut PLN pun terpaksa bermain di dua panggung. Panggung depan dan panggung belakang,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Rabu (23/11/2022).
Ia menjelaskan, semua itu karena program holding-subholding (HSH) yang merupakan tahap akhir privatisasi/penjualan BUMN bernama PLN. “Program privatisasi ini merupakan amanat dari LOI yang saat itu merupakan konsep kapitalis. Namun faktanya saat ini dinikmati juga oleh Cina (dedengkotnya komunis),” bebernya.
Daryoko menambahkan, adanya kebenaran desertasi Dr. Athian bahwa komunis dan kapitalis itu bersumber dari ideologi yang sama dan berasal dari Yahudi bernama freemasonry. “Dan mereka saat ini berpesta pora di Indonesia lewat rezim dobel gesture: komunis dan kapitalis!” tukasnya.
Ia kemudian menjelaskan adanya program HSH PLN yang menuju pembubaran PLN.
“Sebagai contoh saat ini unit-unit PLN pembangkitan yang ada di luar Jawa-Bali seperti KIT SBS (Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan) dan KIT SBU (Pembangkitan Sumatera Bagian Utara) sudah dibubarkan dan karyawannya diubah statusnya dari pegawai tetap PLN menjadi pegawai outsourcing (OS),” urainya.
Menurutnya, hal tersebut dilakukan dengan modus dipindahkan sebagai pegawai tugas karya tanpa proses PHK, tanpa pesangon dan tanpa UU Ketenagakerjaan. “Ini semua dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan program HSH di atas,” jelasnya.
Daryoko memaparkan bahwa aset eks KIT SBS dan KIT SBU saat ini dipindahkan ke anak perusahaan PLN PT Indonesia Power (IP) dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB).
“Perlu diketahui bahwa PT IP dan PT PJB ini mayoritas beroperasi di Jawa Bali dengan kapasitas 16.179 MW. Dan saat ini sudah mulai disuntik mati kecuali hanya dioperasikan di bawah 3.000 MW untuk kebutuhan peaker (beban puncak),” urainya.
Ia juga menjelaskan konsep The Power Sector Restructuring Program (PSRP) karya IFIs (WB, ADB, IMF) yang merupakan follow up dari LOI (Letter of Intent) 31 Oktober 1997, Pembangkitan Jawa-Bali ini harus dibubarkan.
“Dan faktanya saat ini digantikan oleh pembangkit IPP swasta seperti Shenhua (di situ ada JK), Huadian, Chengda, Paiton Energy (GE, Luhut, Mitshui, Nebras, Jera), Marubeni, Bimasena Powerindo (konsorsium antara Adaro milik Erick Tohir, Itechu, J. Power/Jepang) dll dengan kapasitas sekitar 20.000 MW,” paparnya.
Menurut Daryoko, sesuai grand design PSRP di atas, PLN Jawa-Bali hanya mengoperasikan transmisi dan distribusi. “Sekali lagi pembangkitnya oleh swasta IPP di atas, sedang ritailnya oleh taipan 9 naga, sebagaimana sudah difasilitasi oleh DIRUT PLN Dahlan Iskan dengan menjual ritail PLN yang besar-besar ke Tommy Winata, James Riady, Aguan, dll. Sedang yang recehan dijual ke mereka dengan mendirikan pabrik token, dan voucher-nya dijual lewat Alfamart serta gerai-gerai ruko, dst,” bebernya.
Karena Jawa-Bali sesuai PSRP harus diprivatisasi/dijual dan dikuasai oleh aseng/asing dan taipan 9 naga, beber Daryoko, maka operasional IP dan PJB harus dipindah ke luar Jawa-Bali. “Untuk itu selanjutnya aset KIT SBS dan KIT SU dipindahkan ke IP dan PJB dan karyawannya diubah menjadi tugas karya dalam status sebagai tenaga outsourcing (OS),” imbuhnya.
Menurut Daryoko, hal tersebut dilakukan tanpa proses yang jelas sesuai UU Ketenagakerjaan. “Kasus di atas baru contoh-contoh di bidang pembangkitan, belum yang lain!” pungkasnya.[] Nita Savitri