Mediaumat.id – Penerbitan Inpres Nomor 7 Tahun 2022 yang menjadi payung hukum untuk memberikan kepastian pasar bagi industri kendaraan listrik dengan implementasi turunannya yakni pengalihan kendaraan dinas menjadi kendaraan listrik, dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana hanya akan menguntungkan oligarki.
“Ada sekelompok oligarki yang diduga akan diuntungkan besar. Ada pihak yang diduga menjadi pemburu rente dan broker pengadaan kendaraan listrik dinas,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (7/10/2022).
Menurutnya, sebuah kebijakan yang digulirkan itu seharusnya melihat segalanya secara detail, secara sistemik, secara komprehensif baik input, proses maupun output. “Ketika kebijakan tidak komprehensif ujungnya akan menguntungkan segelintir kalangan yang berada pada pihak-pihak yang dekat dengan pengambil keputusan,” ungkapnya.
Ia menyayangkan, sering kali kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia itu tidak melihat secara komprehensif, tetapi hanya puzzle-puzzle yang tidak komprehensif. “Itulah yang menyebabkan seringkali kebijakan itu mangkrak, kebijakan itu tidak optimal di hasil, kebijakan itu tidak ada dukungan dari semua aspek baik regulasi maupun implementasi,” ungkapnya.
Belum Siap
Agung mengatakan, khusus terkait dengan kendaraan listrik, mobil maupun motor listrik, itu paling tidak harus berlandaskan pada filosofi bahwa negeri ini harus mandiri secara ekonomi, termasuk perspektif mandiri dalam konteks kendaraan listrik baik produksinya, maupun aspek infrastruktur pendukungnya.
Ia melihat, aspek-aspek itu tidak serius untuk dipersiapkan oleh pemerintah negeri ini. “Negeri Ini memang kaya akan nikel, luar biasa, termasuk kelompok besar dalam produsen nikel. Nikel itu adalah bahan dasar untuk pembuatan litium baterai. Litium baterai itu adalah bahan penting untuk produksi kendaraan listrik. Dari aspek bahan mentah memang kita cukup memadai, cuman persoalannya, kan ini siapa yang menguasai hulu nikel ini? Ini kan persoalan,” ujarnya.
Agung menilai, kemanfaatan nikel justru lebih banyak dipegang oleh swasta dan asing. “Saya melihat kita tidak memiliki kebijakan yang serius untuk betul-betul memastikan nikel itu betul-betul bermanfaat untuk rakyat. Yang nanti turunannya litium baterai, turunannya di mobil listrik atau motor listrik. Itu enggak ada keseriusan di situ,” sesalnya.
Nah terus setelah nikel, lanjut Agung, bagian smelter yang akan mengolah nikel, ini juga bukan pemerintah atau negeri ini yang menguasai. “Kemudian setelah itu, produsen litium baterainya siapa? Kita tahu banyak sekali yang akan investasi di Indonesia, Cina atau asing. Ini persoalan,” tegasnya.
Lebih lanjut, kata Agung, produsen kendaraan motor listrik itu juga enggak clear. “Dalam konteks ini kemungkinan besar juga asing yang berkuasa,” katanya.
Ia khawatir, pengadaan mobil listrik atau motor listrik ini hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan tertentu yang bertugas untuk menjadi pengada atau menjadi penyuplai. “Bisa jadi dia bukan produsen, tapi dia menghubungkan dengan produsen mobil atau motor listrik itu. Jadi kayak broker dia. Broker pengada. Saya pikir kalau pola-pola seperti itu, saya menduga hanya akan menguntungkan segelintir orang yang berposisi sebagai penghubung ini sebagai broker ini. Itulah persoalannya. Tinggal ditelusur saja. Saya tidak ingin menyebut nama. Siapa yang bertugas untuk menjadi perusahaan yang akan menjadi pengada atau akan menjadi broker dari mobil listrik ini, dialah yang akan dapat untung besar dan kalau mau ditelusur siapa patronnya? Itu bisa ditelusur juga gitu. Nah, itu satu bagian,” bebernya.
Menurutnya, kalau negeri ini sudah harus melakukan optimalisasi motor atau mobil listrik maka harus dipersiapkan stasiun pengisian listriknya. “Sejauh mana infrastruktur kita betul-betul telah memadai untuk perubahan dari stasiun pengisian bahan bakar minyak yang sekarang ini ada beralih ke listrik. Hampir infrastrukturnya itu luar biasa. Sejauh mana kesiapannya?” tanyanya.
“Jangan sampai mobil listrik itu ada tapi infrastruktur pengisian bahan bakar tidak ada. Ini kan persoalan. Ditambah juga kebijakan listrik kita akan problem luar biasa hari ini,” imbuhnya
Menurutnya, problem listrik di negeri ini luar biasa. “Bagaimana mungkin kita itu over supply terkait listrik. Karena ada kebijakan 35.000 VA atau megawatt yang problem, sehingga terjadilah over supply di tengah-tengah kita. Yang rumit lagi, ternyata PLN harus membiayai listriknya dengan back up bahan bakarnya dari batu bara yang dihargai dengan harga internasional. Itu problem berikutnya lagi,” bebernya.
Agung mengatakan, masalah di konteks mobil listrik ini ada problem dari hulunya, smelternya, pabrik litium baterainya, pabrik kendaraan listrik, kalau enggak ada, berarti ini akan ada broker, itu juga ada problem lagi di sana. “Nah kemudian infrastruktur untuk bahan bakar listriknya bagaimana?” tanyanya.
Problem Sistemik
Agung menilai, problem kendaraan listrik ini berkelindan bukan hanya problem individu, bisa jadi memang ada pemburu rente, tapi persoalan yang paling mendasar program sistemik. “Sistem yang diterapkan di negeri ini kan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme itu cenderung menjadikan pemerintah sebagai regulator, tidak berperan di dalam pengelolaan sumber daya energi sehingga lebih cenderung hanya menjadi fasilitator swasta untuk menguasai sumber daya. Ketika kebijakan itu dilakukan maka problem itu akan sistemik juga,” jelasnya.
“Problemnya akan ada di hulu, di tengah dan hilir. Kendaraan bermotor listrik ini kan di hilirnya, ada hulunya ada prosesnya. Nah, Semua ini hanya akan menjadi bahan bancakan yang merugikan rakyat,” ujarnya.
Ia menegaskan, sumber daya alam dan sumber daya energi terkait dengan motor listrik ini hanya akan menguntungkan segelintir kalangan dan menguntungkan pihak-pihak kapitalis pemilik modal dan orang-orang yang ada di sekitar pemilik modal plus regulator yang memberikan peluang kepada pemilik modal. “Ini yang betul-betul akan mendapatkan peluang sehingga kapitalisme itu bisa berkembang dan menguasai hulu sampai hilir terkait dengan kendaraan listrik ini,” tandasnya.
Menurutnya, inilah buah dari sistem kapitalisme. “Apa yang bisa diperbuat oleh Jokowi? Anies? Ganjar? Puan? Prabowo? Selama ‘jalan baru’ perubahan sistemik negeri ini tidak dilakukan maka siapa pun presidennya hanya jadi ‘gedibal’ kapitalisme,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia mengingatkan kepada penguasa untuk mulai berpikir dan membuat jalan baru buat Indonesia. “Ya itu Islam, menurut saya. Yang akan bisa memposisikan hulu dan hilir terkait dengan nikel, smelter nikel, litium baterai dan hilirnya kendaraan bermotor listrik betul-betul akan memberikan manfaat optimal kepada rakyat. Karena Islam memiliki blueprint, konsep, sekaligus memiliki peta jalan, roadmap, untuk bisa mengimplementasikan kemandirian energi dan tentu kemandirian dalam pengadaan mobil listrik,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it