Mediaumat.id – Sikap penguasa yang arogan terhadap polemik seragam kerudung dinilai Direktur Mutiara Umat Institute Ika Mawarningtyas akibat islamofobia, begini tujuh dampaknya.
“Pertama, Muslimah tidak leluasa menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT,” ujarnya dalam Kritik #6: Jilbab Disayang Jilbab Dilarang, Siapa Meradang? di kanal YouTube TintaSiyasi Channel, Kamis (17/11/2022).
Ia memaparkan, guru yang meminta atau mempersuasi siswi Muslimah agar berjilbab sebagai penunaian kewajiban amar makruf nahi mungkar akan dicap memaksakan kehendak, menyalahi HAM, dan intoleran.
“Demikian pula yang terjadi pada kasus pelarangan siswi berhijab di wilayah minoritas Muslim. Sebagai minoritas diharuskan tunduk pada kemauan mayoritas di wilayah tersebut. Sementara Muslim sebagai mayoritas negeri ini juga diperlakukan laksana minoritas. Ajarannya dipinggirkan,” paparnya.
Kedua, Muslimah enggan berhijab karena khawatir dicap negatif: fanatik, radikal, ekstrem. “Opini negatif yang terus digulirkan terhadap Muslim taat dan pejuang Islam kaffah sebagai manusia radikal dan ekstrem, membuat sebagian Muslim memilih berislam ‘biasa saja’ alias mencukupkan diri melaksanakan Islam sebatas ibadah dan ajaran ritual lainnya. Adapun berpenampilan islami seperti berhijab, berjenggot, celana cingkrang akan dihindari,” terangnya.
Ketiga, memupus ketaatan terhadap perintah Allah SWT. Kekhawatiran dan keengganan menjalankan perintah Allah SWT dalam berpakaian, lambat laun akan berimbas pada kemalasan penunaian aturan lainnya. “Akumulasi dari semua ini adalah ia akan kehilangan ketaatan pada Allah SWT hingga mudah bermaksiat,” tuturnya.
Keempat, gaya berpakaian ala kaum liberal kian eksis. “Keberhasilan islamofobia akan mengeksiskan gaya berpakaian yang cenderung mengikuti tren alias mode kekinian yang serba bebas dan terbuka sesuai arahan kaum kafir Barat yang tengah berkuasa di dunia saat ini,” ungkapnya.
Kelima, polarisasi dalam tubuh umat Islam. Yang termakan narasi islamofobia akan merasa takut atau khawatir terhadap ajaran hingga simbol Islam.
“Di sisi lain, ada kelompok yang ditakuti karena keberhasilan narasi tadi yang biasanya dilabeli dengan sebutan radikal, ekstrem, teroris. Istilah-istilah ‘asing’ seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, adalah bagian proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim terpecah-belah dengan saling melontarkan tuduhan satu sama lain,” jelasnya.
Keenam, menyulut konflik vertikal dan horizontal. Umat Islam yang telah terbelah (terpolarisasi) akan mudah terpantik konflik. Baik konflik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan umat Muslim yang enggan tunduk aturan Barat.
Ketujuh, umat Islam kian jauh dari syariat Islam kaffah. Saat sebagian umat Islam percaya bahwa yang berpegang teguh pada ajaran Islam (termasuk dalam hal berpakaian) adalah radikal, teroris, ini akan membuat mereka enggan berdekatan dengan syariat dan pejuangnya. “Padahal merugilah seseorang, jika ia menjauhkan diri dari syariat kaffah,” pungkasnya.[] Nabila Zidane