Mediaumat.id – Terkait hukum kripto seperti bitcoin, ethereum, dash, ripple, dan sebagainya, Amir Hizbut Tahrir asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah memberikan pandangannya.
“Terkait Bitcoin, maka itu bukanlah mata uang sehingga tidak berlaku padanya syarat-syarat mata uang,” tuturnya ketika menjawab pertanyaan dari warganet di akun Facebook-nya (24/12/2017).
Menurutnya, mata uang yang disetujui Nabi yaitu dinar dan dirham. Padanya terpenuhi tiga perkara. Pertama, merupakan standar untuk barang dan jasa, yakni padanya terpenuhi ‘illat moneter yakni pada waktu itu sebagai harga dan upah.
Kedua, dikeluarkan oleh otoritas yang diketahui, bukannya otoritas yang majhul yang mengeluarkan dinar dan dirham.
Ketiga, mata uang tersebut tersebar luas di tengah masyarakat dan bukannya khusus pada satu kelompok dan tidak pada yang lain.
Dan dengan menerapkan hal itu pada Bitcoin, menurutnya, menjadi jelas bahwa Bitcoin di dalamnya tidak terpenuhi tiga perkara tersebut. Pertama, Bitcoin bukan sebagai standar untuk barang dan jasa sama sekali, akan tetapi hanya alat tukar untuk barang dan jasa tertentu saja.
Kedua, Bitcoin tidak keluar dari otoritas yang jelas, akan tetapi dari otoritas yang majhul. Ketiga, Bitcoin tidak tersebar luas di tengah masyarakat akan tetapi hanya khusus dengan orang yang mengedarkannya dan menyetujui nilainya, artinya bukan untuk seluruh masyarakat.
“Karena itu, maka mata uang Bitcoin dari sisi syar’iy bukanlah mata uang,” tegasnya.
Haram Diperjualbelikan
Syeikh Atha’ menilai Bitcoin tidak lebih dari komoditas. Akan tetapi komoditas ini tidak jelas pihak yang mengeluarkannya, dan tidak ada penjaminnya.
“Bitcoin itu menjadi ruang besar untuk gambling, kecurangan, spekulasi dan penipuan. Jadi tidak boleh menjual dan membelinya,” tegasnya.
Apalagi, menurutnya, bahwa pihak yang mengeluarkannya majhul. “Ada kecurigaan yang mengeluarkannya ini tidak jauh dari negara-negara kapitalis besar khususnya Amerika atau kelompok yang terkait dengan negara besar yang memiliki tujuan jahat atau korporasi internasional besar untuk perjudian, perdagangan narkoba, pencucian uang dan pengorganisasian kejahatan terorganisir dan jika tidak kenapa pihak yang mengeluarkannya tetap saja majhul (tidak jelas)?” ungkapnya.
Menurutnya, Bitcoin itu pihak yang mengeluarkannya majhul tidak ada yang menjaminnya, dan berpotensi untuk aktivitas gambling dan penipuan, serta hegemoni negara-negara kapitalis imperialis khususnya Amerika untuk dimanfaatkan guna merampok kekayaan masyarakat. “Dan oleh karena itu maka tidak boleh memperjual-belikannya dikarenakan dalil-dalil syara’ yang melarang jual beli semua komoditas yang majhul,” jelasnya.
Syeikh Atha’ mengutip dalil dari Imam Muslim di dalam Shahihnya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah SAW melarang bay’ al-hashâh dan jual beli gharar”. Imam at-Tirmidzi juga telah mengeluarkannya dari Abu Hurairah “bay’ al-hashâh” itu seperti orang berkata “saya jual kepada Anda pakaian-pakaian ini yang terkena kerikil yang saya lemparkan, atau saya jual kepada Anda tanah ini mulai dari sini sampai berakhirnya kerikil ini… Jadi jual beli tersebut majhul dan itu dilarang. “Bay’ al-gharar” yakni majhul tidak jelas, seperti jual beli ikan di dalam air yang banyak, susu yang masih di dalam ambing, jual beli janin yang masih di dalam perut induknya dan semacamnya. “Semua itu jual belinya batil sebab merupakan gharar,” tegasnya.
“Dari situ jelaslah pengharaman jual beli gharar atau majhul. Dan ini berlaku pada realita Bitcoin. Bitcoin merupakan uang yang majhul pihak yang mengeluarkannya, tidak ada otoritas resmi yang mengeluarkannya yang menjaminnya. Atas dasar itu maka tidak boleh memperjual-belikannya,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it