Inilah Empat Faktor Mundur Tidaknya Seorang Pejabat Publik
Mediaumat.id – Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi Al Maroky, M.Si. menyampaikan, ada empat faktor yang bisa membuat seorang pejabat publik mengundurkan diri atau malah bertahan dengan jabatannya.
“Saya mencatat setidaknya ada empat faktor membuat orang itu bisa mundur atau tidak,” ujarnya dalam Spesial Interview: Ada Apa di Balik Mundurnya PM Inggris? di kanal YouTube Rayah TV, Jumat (8/7/2022).
Sebagaimana diinformasikan, Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson secara resmi mengumumkan tidak akan lagi jadi pemimpin Partai Konservatif Britania Raya, yang artinya mundur dari jabatannya sebagai PM pada Kamis (7/7/2022).
Pun sebelum Boris, diketahui terdapat 53 menteri dan pejabat pemerintahan Inggris mengajukan pengunduran diri.
Terlepas dari skandal terkait pesta-pesta yang berlangsung kala pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown di awal pandemi Covid-19 menyerang negara itu 2020, dan sejumlah skandal lain termasuk pelecehan seksual hingga video porno, ungkap Wahyudi mengulang, terdapat beberapa faktor dalam hal keberlangsungan tidaknya suatu kepemimpinan.
Pertama, faktor individunya. “Kalau individunya itu tidak tahu malu dan tidak punya etika, tidak tahu adab, ya dia jalan terus aja pokoknya,” timpalnya, menyinggung kondisi para penguasa saat ini yang terkesan enggan mundur kendati makin tinggi angka kemiskinan, misalnya.
Sebaliknya, pemimpin yang merasa sudah tidak mampu menjalankan tugas kepemimpinan, maka bisa dipastikan bakal menyatakan mundur untuk kemudian yang lebih profesional dan lebih cakap menggantikannya.
“Apalagi kalau dia seorang yang amanah, dia merasa, wah saya mengerjakan ini, amanah yang saya pegang ini tampaknya memberatkan saya ini. Tidak mampu saya pikul ini dengan kapasitas yang saya miliki,” sambungnya.
Pasalnya, seorang pemimpin digaji memang untuk menyejahterakan rakyatnya. “Kalau orang yang punya profesional dan amanah, tentu hatinya akan gundah. Nanti akan mundur,” ujarnya lagi.
Kedua, dari konteks budaya atau etika yang menurut Wahyudi juga bisa mempengaruhi seorang pemimpin mengundurkan diri. Maknanya walaupun tidak secara hukum, memang ada negara dengan budaya suka memundurkan orang apabila ada kesalahan.
“Misalnya seperti Jepang. Kalau ada kecelakaan kereta api, itu menteri yang mengurusi itu sudah tidak usah disuruh itu, langsung mundur,” bebernya, sembari mengatakan hal itu sebagai wujud rasa malu.
Bahkan tidak sekadar malu, tetapi sampai harakiri. “Jadi memang faktor budaya ini penting,” cetusnya, membandingkan dengan Indonesia yang menurutnya belum ada tradisi seperti di sana.
Sebutlah jembatan ambruk atau mungkin kapal tenggelam, yang menurutnya tidak ada seorang pun pejabat yang merasa bertanggung jawab. “Justru mungkin punya semangat ‘maju tak gentar’,” selorohnya.
Harus Mundur
Persoalan dari sisi hukum yang menurut Wahyudi menjadi faktor ketiga, sebenarnya mundur atau tidak seorang pejabat publik bisa dikunci dari situ. “Kalau ada orang yang misalnya tertangkap korupsi, itu kan sebenarnya dari segi hukum bisa dikunci bahwa dia korupsi berapa pun, harus mundur,” tandasnya.
Namun alih-alih demikian, yang ada justru setelah menjalani masa hukuman korupsi kemudian bebas, dia boleh mencalonkan sebagai kepala daerah lagi.
Maka itu, apabila ada perubahan undang-undang tentang pilkada nantinya, ia berharap ada klausul pasal tentang kepala daerah harus mundur kalau tertangkap tangan melakukan tindak pidana terkait pelanggaran tupoksinya.
Lebih jauh, kata Wahyudi, mestinya ada kesepakatan pula mengenai etika pejabat publik yang melanggar hukum, otomatis kehilangan jabatannya. “Kalau itu, mungkin pejabat-pejabat publik akan hati-hati,” ucapnya.
Tetapi berkaca pada pernyataan para pejabat, semisal menyuruh rakyat makan keong sawah dikarenakan daging mahal, tidak ada yang namanya mafia minyak goreng, hingga janji peluncuran mobil Esemka di bulan Oktober, menurut Wahyudi sebagai bentuk ucapan yang harus dipertanggungjawabkan secara etika dan hukum.
Keempat, sistem sosial masyarakat yang menurutnya paling berpengaruh besar terhadap mundur tidaknya seorang pejabat publik.
“Di Inggris itu kan karena tekanan publik yang kuat. Sehingga Boris Johnson itu terpaksa harus mundur,” sebut Wahyudi.
Artinya, mundurnya Perdana Menteri Inggris tersebut memang bukan karena kesadaran sendiri, tetapi dipaksa untuk melepaskan jabatan publiknya.
Lantaran itu, Wahyudi menambahkan, kalau masyarakat di sini kenyang janji tetapi tidak pernah ditepati, mereka tidak boleh diam saja dengan tidak memberikan tekanan publik yang kuat, sehingga seorang penguasa tidak akan mundur.
Sebabnya, apabila memiliki kesadaran politik yang tinggi, apalagi ketika tampak di depannya, penguasa yang keluar dari ketentuan perundang-undangan, masyarakat bakal antusias melakukan tekanan publik.
“Misalnya tidak akan impor pangan, dulu janjinya begitu. Tetapi publik kan enggak menagih lagi,” ulasnya, kembali menekankan pentingnya faktor sistem sosial masyarakat yang ternyata paling menentukan mundur tidaknya seorang pejabat publik.
Dengan demikian, sambungnya, masyarakat mestinya dicerdaskan dengan kesadaran baru sehingga memahami dan melakukan hal yang tentunya lebih baik lagi.
Sehingga juga, di dalam sistem sosial masyarakat yang baik, publik tidak sembarangan meminta perubahan, dan tidak sembarangan pula bisa dibodoh-bodohi atau ditipu.
Masalahnya, kata Wahyudi, sekarang ini partai-partai politik yang semestinya bertugas mengedukasi seraya menyampaikan aspirasi masyarakat, justru berkolaborasi dengan penguasa.
Edukasi Islam
Maka itu, sebagai seorang Muslim yang taat ia menyampaikan semacam edukasi di dalam Islam. Adalah sikap mundur atau tidaknya seorang penguasa, justru sebelum menjabat, calon dimaksud terlebih dahulu diingatkan.
“Kalau kita lihat dalam sejarah itu kan orang-orang yang memang lemah dalam kepemimpinan itu tidak diberikan amanah,” ungkapnya.
Bahkan secara keluarga, Khalifah Umar bin Khattab telah mencontohkan dengan tidak mengangkat putranya, Abdullah, menjadi Gubernur Mesir meskipun banyak masyarakat dan sahabat mendorongnya.
“Cukup satu Umar saja yang jadi pemimpin umat. Kalau Umar berhasil maka seluruh keluarga Umar dipandang berhasil. Tetapi kalau Umar gagal hanya satu saja yang gagal,” pungkasnya, menirukan ucapan sahabat Nabi SAW, bergelar Al-Faruq yang berarti sang pembeda antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah) tersebut.[] Zainul Krian