Inilah Akar Masalah Kerusuhan Morowali

Mediaumat.id – Analis senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan mengungkap akar masalah kerusuhan yang terjadi di Morowali.

“Kerusuhan yang terjadi di Morowali merupakan akumulasi permasalahan yang muncul dari masifnya investasi asing. Khususnya investasi dengan Cina yang telah menyebabkan persoalan-persoalan mendasar,” tuturnya dalam Kabar Petang: Akar Masalah Kerusuhan Morowali, Rabu (18/1/2023) di kanal YouTube Khilafah News.

Menurut Fajar, persoalan mendasar tersebut setidaknya ada tiga. Pertama, hal ini berkaitan dengan skema investasi turnkey project yang jelas-jelas itu adalah bentuk penjajahan baru (neoimperialisme) di bidang ekonomi.

“Pola yang selalu disodorkan oleh Cina kepada mitra mereka, yakni suatu pola investasi yakni mereka tak hanya berinvestasi uangnya tapi juga membawa SDM-nya, teknologinya, termasuk barang-barang yang diperlukan untuk project itu,” terangnya.

Kedua, isu kesenjangan yang terjadi antara tenaga kerja asing khususnya Cina dengan tenaga kerja Indonesia baik dari segi posisi, pendapatan, dan fasilitas yang didapatkan tenaga kerja asing yang jauh lebih baik dari tenaga kerja Indonesia. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial dan menimbulkan bibit-bibit sentimen di tengah-tengah masyarakat. “Apalagi gap (kesenjangan) ini tampak nyata di masyarakat,” tambahnya.

Ketiga, derasnya investasi asing menimbulkan derasnya jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke negeri ini hingga menembus ratusan ribu bahkan jutaan. Ini yang kemudian menimbulkan sentimen tersendiri, tidak hanya bagi orang yang ada di daerah tempat perusahaan beroperasi tapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Juga dikaitkan dengan sentimen bahwa Cina itu adalah negara komunis yang itu juga sensitif bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. “Hal ini menimbulkan akumulasi yang pada akhirnya berujung kepada potensi konflik,” paparnya.

Fajar menilai, masifnya investasi asing ini tak hanya menimbulkan dampak negatif dalam aspek sosial tapi juga berakumulasi pada permasalahan lingkungan. “Tentu dalam hal ini kita sangat dirugikan. Walaupun ada sejumlah nilai ekonomi tapi saya kira itu tidak sebanding dengan potensi kerusakan,” tambahnya.

Analis senior ini menilai, permasalahan distribusi ekonomi akibat investasi ini hanya dinikmati segelintir orang, yaitu para investor asing (kapitalis global) atau lokal yang dalam hal ini kelompok oligarki ekonomi yang memegang kendali atas sumber daya ekonomi. Sedangkan masyarakat hanya menikmati remah-remah yang tersisa dari kue ekonomi yang sedemikian besarnya yang dihasilkan dari eksploitasi SDA.

“Kalau kita menggunakan pendekatan sistem kapitalisme liberal di mana semua orang yang punya modal bebas mengeksploitasi SDA dan melepaskan pengeluaran SDA tadi pada investor, saya kira itu pola-pola yang sudah tidak inline dengan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.

Perlu Perubahan Mendasar

Fajar memaparkan bagaimana pola pengelolaan SDA dalam sudut pandang Islam. Pola pemilikan itu menurutnya ada tiga ranah.

Pertama, kepemilikan pribadi, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. “Barang tambang itu sebenarnya dikategorikan sebagai barang milik publik, artinya negara tidak boleh bebas menyerahkan pengelolaan SDA kepada pihak swasta, termasuk dalam ini adalah investor asing. Tapi itu atas nama umat/rakyat maka negara yang harus mengelola itu dan kemudian hasilnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan masyarakat,” ungkapnya.

Analis senior ini menilai perlu perubahan mendasar dari sistem ekonomi yang eksploitatif yaitu kapitalisme liberal menjadi sistem ekonomi yang lebih berkeadilan yang akan bisa mewujudkan kesejahteraan.

“Oleh karena itu, kita harus open minded (terbuka) untuk kemudian mengevaluasi tidak hanya pada masalah-masalah teknis yang strategis tapi kita harus bawa ini ke akar masalah yang lebih paradigmatik,” pungkasnya. [] Lussy

Share artikel ini: