Mediaumat.id – Dosen Filsafat Pascasarjana UIKA Bogor sekaligus Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra mengungkap salah satu kemungkinan hasil survei yang menunjukkan 83,3 persen generasi Z anggap Pancasila tidak permanen dan bisa diganti karena mulai timbul kesadaran.
“Kemungkinan generasi Z ini mulai sadar,” ujar Dosen Filsafat Pascasarjana UIKA Bogor, sekaligus Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsan (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra kepada Mediaumat.id, Ahad (21/5/2023).
Tak hanya itu, sambungnya, bisa jadi mereka telah muak melihat perilaku para pejabat di negeri ini yang selalu berteriak ‘Saya Pancasila’, namun kelakuannya justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Ambil misal, usai mendeklarasikan ‘Saya Pancasila’, ujung-ujungnya ternyata terlibat juga dalam kasus tindak pidana korupsi. “Secara individu, banyak peneriak Pancasila, namun mereka banyak yang justru terjerat tindak pidana korupsi,” paparnya.
Padahal di saat yang sama, masih banyak warga yang masih memiliki persoalan dengan kesejahteraan. “Dalam Pancasila ada sila tentang keadilan sosial, namun masyarakat justru tidak pernah mendapati kesejahteraan itu,” timpal Sastra, yang juga menyebut mahalnya keadilan sosial di negeri ini.
Artinya, semenjak negeri ini mengakui Pancasila sebagai landasan nilai falsafah bangsa, justru nilai-nilai dari Pancasila dimaksud belum pernah mewujud dalam kehidupan bangsa ini.
“Seluruh rezim dari Orde Lama hingga Orde Reformasi bisa dikatakan gagal mewujudkan setiap sila dari Pancasila,” ulasnya.
Adalah Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan di Jakarta, Rabu (17/5), menyampaikan hasil survei Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID) mencatat 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menganggap Pancasila tidak permanen dan bisa diganti.
Bukan Ideologi
“Sebenarnya secara epistemologi, Pancasila itu memang bukan ideologi, namun sebagai falsafah hidup semata,” jelasnya.
Sedangkan ideologi (Arab: mabda’), kata Sastra mengutip penjelasan secara umum dari M. Muhammad Ismail (1958), adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan, sekaligus menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya.
Pemikiran mendasar dari ideologi ini, lanjutnya, dapat disebut sebagai akidah yang dalam konteks modern terdiri dari materialisme, sekularisme, dan Islam.
Demikian juga menukil dari keterangan M. Husain Abdullah (1990), Sastra menyampaikan, akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah dunia ini.
Malahan, sambung Sastra, ada dua buku referensi untuk bisa mendalami persoalan ideologi ini. Pertama, buku berjudul Today’s Isms: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism yang ditulis oleh William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Terbitan: Swada, 1965.
Sekadar diketahui, buku ini diterjemahkan dengan judul Isme-Isme Dewasa Ini dan diterbitkan oleh Erlangga tahun 1994.
Ternyata, di buku ini tidak ditemukan selembar pun yang menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi. Padahal, kata Sastra, Prof. William Ebenstein adalah penulis buku yang memiliki wawasan global, tetapi tidak memasukkan Pancasila sebagai ideologi dalam karyanya ini.
Kedua, buku berjudul Political Ideology Today: Second Edition (Politics Today) yang ditulis oleh Ian Adams dan diterbitkan oleh Manchester University Press; 2nd edition (November 10, 2001) yang diterjemahkan menjadi Ideologi Politik Hari Ini.
Prof. Ian Adams yang mengenalkan diri di akun facebooknya sebagai discover more of the author’s books, see similar authors, read author blogs and more, juga tidak pernah menyebutkan dalam bukunya bahwa Pancasila adalah ideologi.
“Nah bisa jadi generasi Z yang telah dibanjiri oleh informasi global ini telah mampu melakukan analisa secara mendalam atas realitas ideologi ini,” singgungnya, seputar hasil survei tentang Pancasila boleh diganti tersebut.
Sehingga, menurutnya, fenomena ini hanyalah konsekuensi logis dari dinamika kehidupan global. Maknanya, hanya melalui gadget, generasi Z bisa dan telah lebih banyak mendapatkan akses informasi apa pun setiap saat dari seluruh penjuru dunia.
“Informasi apapun bisa diakses oleh generasi Z, dari mulai sekedar hiburan, ilmu pengetahun hingga berbagai pandangan hidup,” ujarnya.
Sehingga pula, mereka pun tak mendapati Pancasila sebagai konsepsi ideologi global. “Pancasila hanya dikenal di Indonesia. Sementara dunia terus mengalami perubahan di mana sekat-sekat geografis mulai kabur, setidaknya di sosial media,” urainya.
Artinya, kegagalan seluruh rezim dalam mewujudkan setiap sila disebabkan oleh ideologi yang diterapkan. “Sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini, ideologi yang diterapkan adalah komunisme, kapitalisme, liberalisme, sekulerisme, demokrasi dan pluralisme,” bebernya.
Menjadi rasional, sebab di satu sisi nilai-nilai Pancasila digali dari nilai filosofis keindonesiaan, namun yang mendasari untuk mewujudkannya justru berasal dari Barat semua.
Bertambah ironis, sambung Sastra, ketika isme-isme yang diterapkan secara paradigmatis ternyata berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Sebutlah, ketika negeri ini menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, berikut kaum borjuis yang selalu mengumbar libido materialisme, maka nilai-nilai Pancasila sulit ditemukan di bumi pertiwi ini.
Terlebih berkenaan dengan sila kelima, yang faktanya, kata Sastra, hanya basa-basi dan justru ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang terjadi. “Dengan kapitalisme justru telah melahirkan jurang kesenjangan ekonomi yang menganga; yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin,” pungkasnya.[] Zainul Krian