Mediaumat.id – Pengamat Politik Muhammad Kemal Idris menyatakan jika salah satu pilar dari empat pilar pemerintahan Islam itu hilang maka eksistensi Khilafah (pemerintahan Islam) itu sudah tidak ada.
“Dalam pandangan Islam ada empat pilar pemerintahan Islam, maka apabila salah satu pilar hilang maka eksistensi khilafah (pemerintahan Islam) itu sudah tidak ada,” tuturnya dalam Live Program Dialog Ramadhan: Pilar-Pilar Pemerintahan Islam, Ahad (24/4/2022) di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.
Pertama, kedaulatan ditangan syariah. Kedua, kekuasaan ditangan umat. Ketiga, kaum Muslim wajib mengangkat satu orang khalifah. Keempat, hak muttabani lil khalifah. “Jadi yang memiliki otoritas untuk melakukan adopsi terhadap hukum-hukum itu adalah khalifah,” ujarnya.
Analisisnya sekarang, tidak ada yang tersisa dari keempat pilar ini. Pertama, kedaulatan di tangan syariah sudah tidak ditemukan walaupun di negeri-negeri Muslim masih ada yang menggunakan hukum Islam di dalam menjalankan pemerintahan itu meskipun sangat terbatas, karena dalam menyentuh level kerajaan, seperti Saudi, seakan-akan kedaulatan syara’ itu tidak begitu tajam atau tumpul, tidak berlaku untuk lingkungan kerajaan.
Ia berpendapat kekuasaan umat saat ini sifatnya masih simbolis. “Artinya kekuasaan umat itu melalui penyerahan kekuasaan kepada seorang wakil. Dan wakil itulah yang menjalankan di balik kekuasaan dari umat ini sifatnya masih simbolis. Karena kenyataannya ini masih diganggu oleh oligarki atau kapitalis,” ungkapnya.
Lalu ia menambahkan bahwa calon-calon yang dipilih bukan rakyat yang menentukan, sementara yang menentukan mereka (oligarki atau kapitalis).
“Rakyat hanya disuruh mencoblos sementara yang menentukan mereka karena ada kontrak politik untuk menjalankan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu wakil itu bukan wakil rakyat tetapi wakil oligarki,” tambahnya.
Ia mengatakan, kenyataannya sekarang khilafah tidak ada, maka kaum Muslim wajib untuk menjalankan nashbul khilafah (menegakkan khilafah) itu.
“Tidak ada khilafah, otomatis yang keempat dari pilar itu pun tidak ada. Bagaimana wewenang untuk menetapkan hukum itu bisa ada kalau kemudian khalifahnya tidak ada,” katanya.
Kedaulatan
Ia memaparkan bahwa kedaulatan itu istilah Barat, ada yang namanya menangani (mumaris), menjalankan (musyayyir), ada sebagai pemegang otoritas, maka didefinisikan oleh Dr. Majid al-Khâlidî sebagai kekuasaan tertinggi.
“Kekuasaan tertinggi yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum terhadap benda yang digunakan manusia termasuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia, artinya dialah pemegang wewenang untuk mengeluarkan hukum (ish-darūl-hukmī),” paparnya.
Dalam Islam, menurutnya, kedaulatan berada di tangan syara’. Kewenangan menetapkan hukum adalah Allah SWT. “Dalam Islam yang berhak mengeluarkan hukum itu adalah Allah SWT. Jadi kewenangan menetapkan hukum itu adalah Allah SWT, karena itulah khilafah menempatkan syariat itu sebagai berdaulat bukan rakyat,” terangnya.
Dalam sistem demokrasi, menurutnya, ish-darūl-hukmi-nya adalah rakyat. “Kedaulatan istilah Barat ini memang faktanya ada, menurut mereka kedaulatan rakyat itu bahwa rakyat yang membuat aturan walaupun pada faktanya bukanlah seluruh rakyat yang membuat aturan, tetapi ada perwakilan, yang ternyata diangkat oleh para oligarki karena ada kontrak politik yang dijalankan maka wakil yang duduk dalam satu jabatan mendapat sokongan atau dukungan dari partai politik dan para pemilik modal,” tuturnya.
Ia pun mengkritisi pertentangan yang sangat tajam terhadap demokrasi. “Maka demokrasi itu bukan dari Islam. Itu merupakan sistem kufur yang berasal dari Barat yang banyak diadopsi oleh kaum Muslim pada hari ini,” pungkasnya.[] Ageng Kartika