Mediaumat.news – Terkait penanganan pandemi yang saat ini sudah memasuki tahap vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah, Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (MIY) mengingatkan pentingnya mengembalikan trust publik demi kesuksesan program ini.
“Kalau kita ingin sukses di dalam penanganan pandemi ini, menurut saya, harus mengembalikan trust publik,” tuturnya dalam acara Diskusi Online Tabloid Media Umat: Kontroversi Vaksinasi, Ahad (17/01/2021) di kanal YouTube Media Umat.
Menurutnya, persoalan penanganan pandemi, apalagi sudah masuk pada soal vaksin ini sangat terkait dengan kepercayaan. “Kepercayaan ini sangat penting karena kalau publik itu tidak percaya maka dia tidak akan mendukung program ini,” ujarnya.
Sayangnya, soal trust ini menurutnya menjadi problem besar saat ini. “Kita tahu bahwa pandemi ini tidak dikehendaki oleh siapa pun. Tapi ini sudah terjadi dan menimpa siapa pun. Karena itu penanganannya memerlukan peran, partisipasi, kerja sama semua pihak. Utamanya pemerintah, karena pemerintahlah yang memiliki seluruh otoritas, seluruh sumber daya yang diperlukan untuk menangani pandemi yang luar biasa,” bebernya.
“Bahkan, bukan hanya satu pemerintahan, tapi pemerintahan di seluruh dunia karena pandemi ini sudah menjadi pandemi global. Hampir-hampir tidak ada negara yang tidak terkena. Karena itu peran pemerintah sekali lagi itu sangat penting,” tegasnya.
Pemerintah Abai
Menurut MIY, masalah ini berawal dari sikap denial atau pengabaian oleh pejabat pemerintah yang sangat tidak pantas di awal pandemi dulu.
“Saya kira kita masih sangat ingat dan kita semua tahu siapa yang mengatakan. Ada yang mengatakan bahwa kita ini tidak akan tertular karena kita ini gemar makan nasi kucing. Oh, ini hanya flu biasa saja, bahkan sembuh dengan sendirinya. Ada juga karena dia kiai karena kita mengamalkan qunut maka kita tidak akan tertular dan segala macam. Ini kan ungkapan-ungkapan yang bernada meremehkan,” ujarnya.
Sementara di saat yang sama, ia melihat banyak negara menghadapinya dengan sangat serius. “Vietnam sangat serius. Malaysia sangat serius. Cina yang menjadi awal dari pandemi juga sangat serius,” tandasnya.
Menurutnya, sebenarnya ada waktu untuk bersiap menghadapi pandemi, jika pandemi itu umpamanya masuk pada waktu itu. Karena ada selang waktu sekitar tiga bulan untuk persiapan itu. “Tapi itu tidak dilakukan, dan ketika pun sudah ditemukan ada orang yang terinfeksi, sikap pengabaian atau penolakan itu tetap muncul,” ujarnya.
Ia mencatat waktu kasus pertama dilaporkan, tanggal 13 Februari (2020) oleh Cina, Malaysia dan Australia, semua datang dari Indonesia. “Tapi Indonesia tidak bergegas, baru di awal Maret itu ada pengakuan keluar dari presiden. Jadi kurang lebih ada 17 hari, kita menyia-nyiakan waktu. Dan ini saya kira yang menjadi awal kurang bagus dari penanganan pandemi di Indonesia,” ungkapnya.
Menurutnya, ini terus berlanjut sampai hari ini, bagaimana serampangannya pemerintah dalam penanganan pandemi ini. “Soal efektivitas vaksin, umpamanya. Saya kira ini diketahui oleh publik tapi tidak disadari bahwa uji klinis tahap ketiga yang dilakukan oleh Sinovac itu hanya 1600. Dan untuk intern report itu hanya mengambil sekitar 500. Angka 1600 sendiri itu angka yang sangat sedikit dibandingkan dengan uji yang dilakukan oleh Pfizer di Amerika yakni 40 ribu didapat. Kemudian angka persisnya 30 ribu. Jumlahnya sangat memadai. Kemudian di Brasil dan di Turki juga belasan ribu. Nah, Indonesia 1600 dan ternyata juga hanya 500 karena itu sangat kecil. Karena itulah kemudian publik itu merasa enggak mantep. Itu menurut saya wajar sekali. Itu wajar sekali,” tegasnya.
“Kemudian itu ditepis dengan cara mengundang influencer pada tahap pertama penyuntikan. Tapi celakanya influencer itu melakukan pelanggaran protokol kesehatan yang kalau Habib itu dipersoalkan secara hukum bahkan menjadi tersangka sementara influencer publik figur ini tidak diapa-apakan. Dan presiden mempertontonkan juga. Tapi publik dasarnya enggak percaya masih saja dipersoalkan. Kenapa suntikannya kok tidak lurus. Tidak 90 derajat. Kok ini miring. Kemudian kok satu detik pakai slow motion itu ditutupi oleh tangan penyuntiknya itu. Saya tidak ikut meragukan tapi publik meragukan itu. Ini seperti seolah-olah itu tidak sungguh-sungguh disuntik,” tambahnya.
Menurutnya ini yang menjadi problem bersamaan dengan persoalan-persoalan lain. Misalnya soal-soal yang sangat critical menyentuh hajat hidup orang banyak dan menyentuh aspek-aspek etik yang sangat dasar.
“Misalnya bantuan sosial. Bantuan sosial dikorup. Lalu orang jadi kepikiran juga ini jangan-jangan di balik vaksin ini juga ada korupsi. Kenapa pemerintah kok sudah membeli sementara uji klinis belum didapat? Belum ada clearance, kenapa kok beli? Mestinya uji klinis selesai baru dibeli kan? Jangan-jangan uji klinisnya itu dipaksakan? Wong sudah dibeli kok mau dibatalkan, kan enggak mungkin. Nah, cara-cara seperti ini atau keadaan seperti ini yang menimbulkan keragu-raguan pada publik,” ujarnya.
Menurutnya, andai pemerintah perform dari awal mungkin publik juga mengikuti. Tidak awur-awuran seperti sekarang ini. “Berapa banyak orang yang pakai masker? Yang disiplin pakai masker? Terus-terusan pakai masker? Berapa yang betul-betul menjaga jarak? Berapa yang bolak balik cuci tangan. Kemudian yang menghindari kerumunan. Apalagi ini sudah hampir 1 tahun. Publik capek dan lelah. Makanya, saya agak bisa mengerti kalau menurut statistik itu naik terus. Dulu kita bertahan 3000, 4000, turun lagi 3000 (penambahan positif Covid-19 per hari) tapi setelah itu enggak pernah turun lagi. Naik 500, 6000, 7000 bahkan kemarin menyentuh angka 14000,” ungkapnya.
Pemerintah Harus Perform
MIY mengingatkan untuk mengembalikan trust publik, maka yang bisa dilakukan oleh pemerintah yakni harus perform betul. Tidak boleh lagi ada segala hal yang bisa mengurangi kepercayaan masyarakat.
“Kepercayaan publik bisa ditumbuhkan asal pemerintah benar-benar perform, jujur, transparan, dan berbasis ilmu. Bukan berbasis politik. Kadang-kadang penanganan ini bukan penanganan ilmu, tapi penanganan politik. Ilmu ditundukkan untuk kepentingan politik sebagaimana hukum ditunjukkan untuk kepentingan politik,” ujarnya.
Menurutnya, orang akan percaya penanganan hukum, jika hukum berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum maka keadilan akan bisa diwujudkan. “Tetapi ketika kaidah-kaidah hukum ditabrak, munculah kriminalisasi- kriminalisasi, maka orang tidak percaya kepada hukum. Karena hukum tunduk kepada kepentingan politik,” ungkapnya.
Begitu juga penanganan kesehatan, menurutnya kalau penanganan kesehatan itu bertumpu pada kaidah-kaidah penanganan kesehatan, ilmu kesehatan, ilmu farmasi, ilmu epidemiologi, tidak dicampur dengan kepentingan politik kepentingan ekonomi maka Indonesia yakin akan berhasil.
“Di situ kepercayaan itu akan muncul. Tapi jikalau itu tidak ada, kejujuran tidak ada, terlalu banyak interest di dalam semua proses penanganan pandemi ini, terutama interest ekonomi bisnis, maka percayalah akan kebuka itu ada titik-titik yang akan terungkap. Karena tidak semuanya bisa diatur dengan cara-cara semacam itu,” bebernya.
Ia melihat ada banyak orang yang punya integritas pada keilmuannya, pada kemanusiaannya, pada kejujurannya, kalau itu bisa dilakukan muncul trust muncul kepercayaan. “Dan partisipasi masyarakat pasti akan tumbuh dan itu kunci, karena kita bicara pandemi itu masalah publik. Kalau kita bicara tentang penyakit orang per orang itu tentang person. Tapi kalau pandemi, itu masalah publik. Jadi partisipasi publik sangat penting dan itu kunci,” ujarnya.
Pada akhirnya apapun yang dilakukan pemerintah, dukungan publik itu menjadi sangat penting. Itulah kenapa mengundang tokoh agama, mengundang influencer, artis segala macam itu sebenarnya untuk mengundang partisipasi.
“Kepercayaan itu tidak muncul karena Pemerintah tidak ada perform, karena pemerintah dari awal sudah memunculkan sikap pengabaian tadi itu. Apalagi kemudian cepat atau lambat terungkap, umpamanya ada ketidakjujuran proses-proses pemesanan vaksin, kemudian di balik itu ada macam-macamnya,” ungkapnya.
Namun, ia tidak berharap ada korupsi sebagaimana bansos. Ternyata terungkap korupsi yang sangat menjijikkan. Hal itulah yang membuat runtuh kepercayaan. Kalau sudah runtuh, partisipasi tidak ada. “Kalau partisipasi tidak ada, ambyar itu. Saya tidak menakut-nakuti nanti itu terjadi. Mudah-mudahan itu tidak terjadi,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it