Mediaumat.id – Adanya seruan dari buzzer sekuler radikal intoleran ‘untuk kembali ke seragam sekolah seperti dulu, bukan seragam sekolah gurun pasir’ dinilai sesuai dengan pemahaman mereka yang tidak menyukai pakaian seragam menutup aurat.
“Kalangan yang disebut buzzer sekuler radikal intoleran yang tidak menyukai pakaian seragam menutup aurat, maka itu sesuai dengan pemahaman mereka,” tutur penulis buku The Model for Smart Parents Nopriadi Hermani, Ph.D. kepada Mediaumat.id, Selasa (18/7/2023).
Menurutnya, manusia itu secara umum bersikap sesuai dengan apa yang dipahami.
“Ada orang yang menghindari zina, tapi ada juga yang menyukai zina. Ada orang yang menghindari korupsi, tapi ada pula yang hobi korupsi. Ada orang yang menghindari tayangan pornografi, tapi ada juga yang hobi nonton bokep. Kenapa bisa berbeda? Ya karena pemahamannya berbeda. Standar nilainya berbeda,” ujarnya.
Begitupun kalangan buzzer sekuler radikal intoleran, kata Nopriadi, kemungkinan menyukai pakaian yang terbuka, yang terumbar auratnya.
“Kenapa bisa begitu? Karena pemahaman mereka jauh dari nilai-nilai Islam. Bisa jadi mereka Muslim atau Muslimah, tapi mereka memiliki perilaku yang ganjil dilihat dari sudut pandang Islam,” ungkapnya.
Ia menilai, seharusnya seorang Muslim itu menyukai segala sesuatu yang sesuai dengan syariah. “Bukannya menuduh dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar seperti seragam sekolah gurun pasir,” katanya.
Masalah Serius
Nopriadi menilai, ada masalah serius sehingga terkesan fobia terhadap pakaian Muslimah dan menistanya sebagai seragam sekolah gurun pasir.
“Masalah seriusnya adalah mereka tidak menjadikan akidah Islam sebagai pandangan hidup. Tidak menjadikan Islam sebagai cara hidup. Tidak menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan standar berprilaku. Tidak menjadikan Islam sebagai standar bersikap,” katanya.
Mereka, beber Nopriadi, malah menjadikan standar yang lain bagi pikiran, perasaan dan prilaku mereka. Kalau dilihat standarnya adalah nilai-nilai liberal sekuler yang akan membuat penganutnya tidak menyukai segala sesuatu yang diatur oleh agama, yaitu Islam.
Nopriadi mengatakan ini sesuai dengan nilai sekuler itu sendiri dan sejarah kemunculannya sangat tidak menyukai agama.
Menurutnya, yang harus dilakukan berbagai pihak terkait masalah ini, sebagai pribadi adalah menguatkan Islam sebagai standar untuk pikiran, perasaan dan tingkah laku.
“Jaga pula keluarga kita agar memiliki standar Islam dengan mengikuti kajian-kajian keislaman. Ajak anak-anak dan keluarga dalam kegiatan kajian. Tidak cukup sekadar mengikuti kajian, tapi juga ikut secara aktif mendakwahkan Islam,” ungkapnya.
Nopriadi melihat gelombang sekularisme ini harus dilawan dengan islamisasi pemikiran dan kehidupan masyarakat sampai satu titik ada perubahan. Yaitu perubahan peradaban dari peradaban sekuler menjadi peradaban Islam.
Untuk pemimpin, ia mengingatkan, semua akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kelak.
“Sekulerisme ini telah merusak kehidupan dan masa depan generasi muda kita yang salah satunya dengan pakaian. Berilah ketetapan pakaian yang sesuai syar’i untuk anak-anak didik kita,” sarannya.
Lebih lanjut, katanya, tidak cukup menetapkan standar berpakaian sesuai syariah, tapi juga mendidik anak-anak dengan ajaran Islam.
“Buat kurikulum dan pastikan pelaksanaannya sehingga mampu mencetak generasi muda Muslim yang memiliki pikiran, perasaan dan perilaku secara Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it