Indonesia Rugi Besar Jika Investasi Cina di Rempang Batal, Benarkah?

Mediaumat.id- Menanggapi pernyataan Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia yang menyebut ‘Indonesia bakal banyak alami kerugian jika perusahaan Cina Xinyi Group batal berinvestasi di Pulau Rempang’, Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan justru negara yang mengalami kerugian dari masuknya investasi Cina.

“Jika dihitung dalam jangka panjang, justru negara mengalami kerugian dari masuknya investasi Cina yang masif belakangan ini khususnya di sektor pertambangan,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Jumat (22/9/2023).

Menurut Ishak, pemerintah selalu melihat investasi sebagai sesuatu yang positif, yakni menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan negara dan memberikan efek pengganda bagi ekonomi lainnya.

Namun, kata Ishak, pemerintah tidak pernah mengevaluasi bagaimana dampak investasi bagi rakyat yang mengalami banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan, rusaknya sumber air, polusi yang menyebabkan gangguan kesehatan dan kerusakan alam yang menyebabkan rusaknya mata pencaharian mereka.

Ishak menilai, penerimaan investasi itu sifatnya jangka pendek, sementara itu, masyarakat akan merasakan dampak jangka panjang hingga ke anak cucu. Meskipun pemerintah mengklaim mendapatkan penerimaan dari sektor perpajakan, tetapi pemerintah lupa bahwa biaya yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan itu sangat besar di masa mendatang.

Selain itu Indonesia juga mengalami kerugian karena pemerintah tidak mengoptimalkan potensi sumber daya Indonesia yang sangat melimpah.

Ishak memandang, Indonesia memiliki modal yang melimpah, hanya saja modal itu lebih banyak diparkir di sektor keuangan seperti perbankan, bukan diinvestasikan di sektor riil.

Mirisnya, jelas Ishak, modal-modal itu justru hanya bisa diakses oleh para pemodal yang sudah mapan. Sementara rakyat banyak tidak mampu mengaksesnya karena bunganya tinggi dan syaratnya sulit.

Di sisi lain, lanjut Ishak, pemerintah lebih banyak mengalokasikan APBN untuk membayar pokok utang dan riba-nya ketimbang memberikan subsidi untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya.

Semua ini, kata Ishak, terjadi karena Indonesia merupakan negara dengan sistem demokrasi dan sistem ekonomi berbasis kapitalisme. Sehingga konsekuensinya, seluruh aturan dan undang-undang yang dibuat berdasarkan kesepakatan DPR yang sangat dipengaruhi oleh para pemodal, baik domestik maupun asing.

“UU ini bersama undang-undang lainnya telah melayani dan memuliakan para pemodal seperti halnya para raja dan tidak segan-segan menyengsarakan dan menghinakan rakyatnya jika kepentingan pemodal berbeda dengan kepentingan rakyat,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: