Indonesia Negara Paling Banyak Hapus Konten di Google, Direktur IMuNe: Ini Pengintaian Kapitalisme

Mediaumat.id – Pernyataan pihak Google bahwa Indonesia menjadi negara yang paling banyak minta hapus konten di Google, dinilai Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara sebagai bentuk nyata surveillance capitalism atau pengintaian kapitalisme.

“Ini bentuk nyata dari apa yang disebut sebagai surveillance capitalism atau pengintaian kapitalisme melalui teknologi digital,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Rabu (27/10/2021).

Menurutnya, pengintaian ini sudah dalam bentuk hibrida atau perpaduan antara aktor negara Muslim, negara Barat, dan perusahaan teknologi. “Saya ingin menanggapi ini dari dua sisi,” ujarnya.

Pertama, dari sisi dunia digital yang dulu mengelukan slogan “borderless era” sekarang justru para korporat teknologi ini malah bergandengan tangan dengan rezim negara untuk menciptakan border-border yang membatasi apa yang mereka sendiri sebut sebagai sebuah “kebebasan berpendapat”. “Pagar-pagar digital terus dibangun membatasi opini yang dipandang mengancam eksistensi rezim yang berkuasa atas nama bertentangan dengan UU ITE,” jelasnya.

Kedua, dari sisi sikap paranoid rezim-rezim dunia Islam khususnya Indonesia, Fika mengatakan, setelah momen 212 tahun 2016, rezim semakin menyadari kekuatan gerakan umat melalui sosial media sehingga upaya untuk mengontrol sosial media semakin kuat. “Baik melalui jalur perundangan dan juga menyewa algojo-algojo digital (baca: BuzzerRp) untuk menumpas suara-suara kritis dari umat,” ungkapnya.

Takut Islam Bangkit

Fika mengungkap, alasan di balik permintaan rezim untuk menghapus konten di Google karena takut akan kebangkitan Islam. “Mereka takut akan kebangkitan Islam, yang sering mereka sebut sebagai ‘radikal’ atau ‘ekstremis’,” tegasnya.

Oleh sebab itu, menurutnya, pembungkaman dan penghapusan konten adalah reaksi rezim saat merespons gelombang syiar Islam di sosial media. Saat derasnya arus dakwah Islam tidak lagi bisa dikendalikan oleh penguasa, maka yang mereka lakukan adalah membuat ‘kekacauan’ informasi dengan membiarkan aliran disinformasi membanjiri dunia sosial media, termasuk memelihara agen pembunuh bayaran digital yang digelari “buzzer” untuk melalukan tugasnya “killing the messenger” yakni membunuh para pembawa pesan kebenaran termasuk para pengemban dakwah Islam.

“Google tampaknya patuh untuk membunuh pesan-pesan dakwah di internet demi menyenangkan hati kliennya,” imbuhnya.

Menurutnya, fenomena baru ini sekaligus menyiratkan sikap keputusasaan dan kekalahan intelektual terhadap para pejuang Islam karena rezim-rezim itu bukan hanya berusaha membungkam dakwah Islam, tapi juga memakai cara-cara kotor manipulatif untuk mendiskreditkan para pembawa pesan Islam dan khilafah.

Fika menilai, upaya rezim-rezim dunia Islam bahkan tidak berhenti pada membayar buzzer dan kebijakan regulasi siber. Tetapi juga dengan inisiatif-inisiatif mahal membangun lembaga khusus pemikir juga kerja lembaga intelijen (shadow) untuk memerangi apa yang mereka sebut sebagai radikalisme dan ekstremisme online.

“Termasuk apa yang dilakukan negara-negara Arab yang berpartner dengan Washington. Pada 2017, Presiden AS Donald Trump mempelopori inisiatif baru dengan Raja Saudi Salman, mendirikan Pusat Global untuk Memerangi Ideologi Ekstremis – atau Etidal, bahasa Arab untuk kata moderasi-. Etidal mengklaim mengatakan perangkat lunaknya hanya membutuhkan enam detik untuk mencegat konten ekstremis yang diunggah,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

 

 

Share artikel ini: