Ekonom INDEF Dradjad Wibowo mengatakan, mencetak uang baru itu memang risikonya sangat tinggi, apalagi jika jumlahnya besar sekali. Namun yang menjadi dilema, darimana lagi Indonesia mau mencari uang?
“Semua ekonom sangat memahami alasan BI menolak mencetak uang. Rupiah bisa anjlok tidak bernilai. Lembar Rp100 ribu bisa-bisa buat beli tempe saja kurang,” kata Dradjad kepada Republika.co.id, Kamis (7/5).
Namun yang menjadi dilema adalah Indonesia mau cari uang dari mana?. Dikatakannya, sekarang pajak jeblok. Bahkan penerimaan pajak Q1/2020 hanya Rp 246,1 triliun, turun Rp 6,1 triliun dibanding Q1/2019.
Sementara di sisi lain, lanjutnya, pasar surat utang negara juga semakin tidak kondusif. Obligasi negara dengan tenor 10 tahun makin tertekan. Bahasa gampangnya, sumur utang semakin kering.
“Pajak jeblok, sumur utang mengering, larilah ke BI. BI harus membeli obligasi dari Kemenkeu. Istilahnya, monetisasi defisit. Ini ongkos ekonominya bisa mahal sekali. Itu pun BI hanya sanggup maksimal Rp 125 triliun,” ungkap Dradjad.
Setelah itu, lanjut dia, dana abadi pemerintah pun diambil. Itu juga tidak cukup. “Ambil lagi dari Badan Layanan Umum (BLU) dan private placement dari BUMN, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), LPS,” kata dia.
Komentar:
Sebenarnya Indonesia telah diambang krisis hanya saja pemerintah selalu berusaha menutup-nutupi kenyataan. Janji-janji ekonomi akan meroket hingga 7% tak tercapai, bahkan kini terpuruk dan hanya bisa mencapai 2,9 % saja.
Ambruknya ekonomi nasional sudah terjadi jauh sebelum pandemi masuk ke tanah air. Utang LN jatuh tempo 2020 mencapai Rp 646 triliun, dengan rincian utang pokok Rp 351 trilun, bunga utang Rp 295 triliun.
Utang pemerintah juga semakin mencemaskan. Bila dulu utang pemerintah berasal dari investor kakap dan lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF, kini justru bersumber dari uang rakyat; dana taspen, dana haji, dana asabri, dana perusahaan asuransi, dana pensiun karyawan BUMN. Jika pemerintah meleset dalam pembayaran, berdampak serius semisal kegagalan berangkat haji, terganjalnya uang pensiun, dll.
Celakanya, sebagian dana asuransi itu tak jelas rimbanya setelah dikorupsi habis-habisan. Asuransi Jiwasraya terkuras hingga 13,7 triliun rupiah. Sementara itu Bumiputera juga kelabakan harus membayar klaim Rp 9,6 triliun. Sementara itu Asabri sempat dikabarkan juga diguncang skandal hingga 10 triliun rupiah. Meski kemudian dibantah, namun hingga kini titik terangnya tak kunjung ditemukan.
Ekonomi nasional makin merana setelah tergerusnya rupiah oleh dolar juga menguras cadangan devisa negara. Pada akhir Maret, Bank Indonesia menggelontorkan uang hingga Rp 300 triliun untuk mendoping rupiah agar tidak ambruk.
Ini yang menjadi dugaan kuat mengapa di masa pandemi Covid-19 pemerintah tak mau menerapkan karantina wilayah sebagaimana amanat UU Kesehatan no 6/2008. Tak punya anggaran. Maka pemerintah pusat mensiasatinya dengan menyerahkan kebijakan ini pada daerah dengan aturan PSBB, agar daerah yang menanggung sendiri biaya warganya.
Ekonomi sudah jelang ambruk sebagai dampak sistem ekonomi kapitalis yang bertumpu pada utang LN berbasis riba, pajak, sektor non riil, sementara berbagai SDA justru diprivatisasi untuk dikelola swasta asing dan aseng.
Di titik nadir ini seharusnya umat sadar untuk segera kembali pada tatanan kehidupan berlandaskan akidah Islam, dengan bangunan syariah. Menuju tatanan kehidupan ekonomi anti krisis yang telah terbukti dalam sejarah.[] IwanJanuar/LS