Indonesia Darurat Ketimpangan Ekonomi

Oleh: Lutfi Sarif Hidayat
Civilization Analysis Forum (CAF)

Dalam bidang ekonomi setiap negara menginginkan agar tujuan-tujuan ekonomi bisa diwujudkan. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai setiap negara antara lain agar kesejahteran, kemakmuran, keadilan dan kedaulatan ekonomi terwujud.

Indonesia semestinya juga demikian. Pemerintah harus memperhatikan apakah tujuan ekonomi tersebut sudah benar-benar terwujud ataukah belum.

Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah. Selain potensi kekayaan energi, Indonesia yang berada di bagian bumi equator atau khatulistiwa memiliki tanah yang subur untuk pangan dan air.

Sehingga sangat wajar dengan segala potensi SDA yang ada, Indonesia menjadi target kepentingan negara-negara asing untuk dikuras sumber daya alamnya dan dijadikan konsumen untuk olahan produk industri mereka.

Hal ini diungkapkan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam salah satu kuliah umum beliau. (mediaindonesia.com, 5/4/2017)

Beliua juga menjelaskan bahwa kecenderungan konflik di masa yang akan datang akan bergeser dari mencari sumber energi seperti Timur Tengah ke wilayah equator atau khatulistiwa.

Di masa yang akan datang, konflik akan terjadi untuk perebutan pangan dan sumber air. Dan potensi konflik global hampir 70% dipicu oleh penguasaan sumber daya energi minyak bumi dan gas alam yang mulai bergeser kepada perebutan sumber pangan dan air. (mediaindonesia.com, 5/4/2017)

Prediksi beliau bukan sekedar asal bicara. Panglima TNI pastilah mempunyai kajian tersendiri sehingga bisa menyimpulkan hal tersebut. Walaupun sebenarnya jika dicermati, kekayaan Indonesia sudah menjadi santapan pihak-pihak asing sejak lama.

Sebutlah Freeport dan perusahaan asing lainnya yang menikmati kekayaan alam Indonesia. Dan rakyat kecil hanya bisa melihat sumber-sumber alamnya dirampok setiap harinya dan mereka tidak merasakan hasilnya sebagaimana mestinya. Sangat ironi !

Lebih-lebih masalah ekonomi di Indonesia sebenarnya sangatlah kompleks. Mulai dari pengangguran, inflasi, rendahnya daya beli masyarakat, lemahnya nilai rupiah, kemiskinan dan masalah ekonomi lainnya.

Sehingga tidak berlebihan jika Indonesia belum mampu mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan kedaulatan dalam bidang ekonomi.

Hal ini sebenarnya terjadi karena paradigma ekonomi yang digunakan sejak awal sudah tidak tepat. Indonesia menyerahkan kegiatan ekonomi kepada mekanisme pasar yang begitu bebas.

Indonesia kini menerapkan apa yang disebut dengan paradigm ekonomi neo-liberalisme. Sehingga perusahaan swasta khususnya asing bisa dengan leluasa menguasai kekayaan-kekayaan alam Indonesia.

Inilah mengapa kemudian, selain masalah-masalah ekonomi di atas. Indonesia juga sedang terjangkiti penyakit berupa ketimpangan ekonomi, bahkan sudah sampai level darurat. Tidak berlebihan jika Indonesia sedang mengalami darurat ketimpangan ekonomi.

Lebih ironi ternyata ketimpangan ekonomi seperti yang sedang dirasakan saat ini, adalah bagian dari perjalanan negera Indonesia. Saat orde baru, pemerintah Soeharto saat itu menjalankan kebijakan Trickle down effect atau tetesan ke bawah sebagai strategi dalam melakukan distribusi pendapatan.

Cara tersebut menuai kecaman dari banyak orang karena dianggap sebagai penghinaan terhadap kemanusiaan. Publik waktu itu menggugat, bagaimana mungkin ratusan juta rakyat hanya mendapatkan tetesan dari kemakmuran dari para Taipan yang menguasai ekonomi nasional ? (Sumber: Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Juli 2016).

Di era reformasi ini konon menyebut dirinya sebagai antitesa terhadap kebijakan Orde Baru, ternyata ketimpangan ekonomi kian melebar. Era Reformasi tidak menempatkan isue pemerataan ekonomi sebagai salah satu prioritas pembangunan.

Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar atau persaingan bebas. Jika pada era Orde Baru masih memberi peluang tetesan ke bawah, pada era orde baru lubang tetesan pun tertutup.

Era reformasi telah menjadi momentum terbaik bagi segelintir elite untuk menguasai sebagian kekayaan negara, seperti tanah, keuangan dan pendapatan nasional. Akibatnya kekayaan nasional menguap dan berakumulasi di atas, yakni di tangan modal asing dan segelintir taipan.

UU dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah justeru melestarikan praktek ekplotasi ekonomi terhadap rakyat. (Sumber: Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Juli 2016).

Data akan berbicara bahwa Indonesia benar-benar sedang dalam keadaan darurat ketimpangan ekonomi. Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno Tahun 2016 diungkap beberapa contoh ketimpangan ekonomi di Indonesia.

Pertama. Data mengatakan bahwa 72% Tanah Daratan Indonesia dikuasai Asing dan Taipan. Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasaan atas tanah oleh swasta asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektar. Seluas 140 juta hektar merupakan wilayah daratan.

Jumlahnya mencapai 72 % dari total luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan untuk kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, pertanian dan bisnis lainnya.

Pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 % dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar.

Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektar, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar.

Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektar versi panglima TNI sebagaimana di sebut di majalah Forum Keadilan.

Selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas. Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0.5 hektar.

Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata rata 0.17 juta hektar per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut.

Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa salam 95 tahun.

Kedua. Data mengatakan bahwa 0.12 % orang menguasai 66 % dana tabungan di bank. Gambaran tentang ketimpangan dalam keuangan tergambar dari simpanan orang di bank dalam bentuk rupiah.

Data otoritas Jasa Keuangan terbaru menyebutkan dana masyarakat yang disimpan dalam rupiah di bank umum, dan BPR mencapai Rp. 3,770 triliun dengan jumlah rekeningkeseluruhan sebanyak 186.168.335 rekening.

Ketimpangan dalam keuangan Jumlah rekening bank di Indonesia yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar sebanyak 226.948 rekening, nilai simpanan Rp 2.609 triliun.

sementara jumlah rekening di bawah Rp. 2 miliar rupiah sebanyak 185.936.387 rekening dengan nilai tabungan sebesar Rp. 1.161 triliun (September 2016).

Artinya kurang dari 1 % pemilik rekening bank menguasai 66 % tabungan di bank atau sebanyak lebih dari 99 % lebih pemilik rekening hanya menguasai 34 % tabungan di bank.

Sementara rata rata nilai tabungan kurang dari 1 % pemilik rekening yang menguasai 66 % tabungan di bank adalah senilai Rp. 11,4 miliar setiap rekening. Sedangkan rata rata nilai tabungan 99 % pemilik rekening yang menguasai 34 % tabungan di bank adalah senilai rp. 7,3 juta setiap rekening.

Ketiga. Data juga mengatakan bahwa 43% pendapatan nasional dikuasai 1 % orang. Hal ini bisa dilihat ketika orde baru berkuasa ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini coenfisien hanya 0,31 (Koefisien Gini tahun 1999) artinya 31 persen kekayaan nasional hanya dikuasai 1 persen orang.

Kemudian saat ini, dimana sudah masuk dalam era reformasi ternyata jauh lebih buruk lagi. Sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.41 pada tahun 2005.

Daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS.

Oleh karena itu, menjadi sangat ironi bagi Indonesia. Di tengah-tengah potensi kekayaan alam yang begitu luar biasa. Alih-alih memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, justeru menjadi santapan empuk bagi pihak-pihak asing dan pada akhirnya ketimpangan ekonomi pun terjadi. []

Sumber: swamedium.com

Share artikel ini: