Indonesia Bisa Punya PLTN Tapi Butuh Komitmen Kenegaraan Kuat

Mediaumat.info – Tak meragukan kemampuan Indonesia dalam mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), Mahasiswa Doktoral Nuclear Engineering R Andika Putra Dwijayanto di Institute of Science Tokyo mengatakan hanya butuh komitmen kenegaraan yang kuat.

“Tapi ya… itu butuh komitmen kenegaraan yang sangat kuat,” ujarnya kepada media-umat.info, Sabtu (8/2/2025).

Bahkan dari aspek sumber daya manusia juga perlu ditata. Namun hal ini merupakan perkara yang mudah. “Kalau aspek SDM, saya kira bisa diatur, toh semua ada pelatihannya dan kompetensi warga Indonesia juga bukannya kelas bawah,” tandasnya.

Tengoklah Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) berikut SDM ketenaganukliran yang menurut Andika, siap mendukung program energi nuklir. Bahkan secara regulasi, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) juga sudah cukup siap dan familier dengan teknologi yang ada sekarang.

Meski diperlukan pengkajian lagi kalau mau masuk ke Generasi IV, tetapi menurut mahasiswa yang bakal memperoleh gelar Ph.D. di bidang teknik nuklir tersebut, bukanlah hal terlampau sulit.

Namun demikian, dilihat dari aspek industri jelas Indonesia belum mampu. Sebab seperti halnya semua negara yang baru menggunakan PLTN pasti memanfaatkan kapasitas industri dari negara pengembangnya.

Sebutlah Uni Emirat Arab yang memakai industri dari Korea Selatan; Turki, Bangladesh dan Mesir menggunakan industri Rusia. Begitu juga Pakistan yang sebelumnya memanfaatkan industri Cina. “Itu normal saja untuk negara-negara yang baru memulai industri nuklirnya,” kata Andika.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah Indonesia menyatakan butuh langkah konkret untuk memastikan pengembangan nuklir tidak hanya berhasil secara teknis, tetapi juga bermanfaat bagi rakyat Indonesia.

“Fokus kita adalah swasembada energi, bukan ekspansi ofensif,” ungkap Menteri PPN/Bappenas Rachmat Pambudy, dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (8/2/2025).

Hambatan-Hambatan

Hanya, disebabkan haluan politik Indonesia saat ini masih condong ke Amerika Serikat (AS), walau klaimnya ‘bebas aktif’, menjadi agak sulit untuk negara vendor semisal Rusia untuk bisa masuk. Artinya, tekanan dari AS yang bisa dipastikan cukup kuat, bisa menjadi hambatan.

Padahal, Rusia sudah lama mendekati pemerintah Indonesia lintas presiden untuk menawarkan teknologi PLTN mereka. Bahkan, menurut Andika, kalau dinegosiasikan mungkin Rusia siap dengan pendanaan sebagaimana diterapkan terhadap Turki dan Bangladesh.

Selain itu, masalah pendanaan mungkin akan jadi isu juga. Sebutlah PLTN Generasi III yang menjadi agak berat di biaya modal (capital cost) pasca-kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi (2011), dalam hal ini sistem pengaturan keselamatan nuklir yang menurut Andika, agak berlebihan.

Maka, dikarenakan pendanaan agak sulit dari sisi APBN, kata Andika lebih lanjut, mau tidak mau bisa dipastikan BUMN atau bahkan swasta yang melakukan. Celakanya, menjamin agar perusahaan tersebut bersedia mendanai juga sama-sama tak mudah.

Sedangkan aspek nonteknis lain yang mungkin juga bisa menghambat adalah resistansi NIMBY (not-in-my-backyard) oleh warga setempat dan LSM-LSM anti-nuklir berkedok LSM lingkungan.

“Belum lagi bekingan pengusaha-pengusaha energi fosil, yang bisa jadi adalah salah satu penghambat nonteknis terbesar penerapan PLTN di negeri ini,” imbuhnya, seraya mencontohkan batalnya proyek PLTN Semenanjung Muria di tahun 2009.

Hambatan Terbesar

Berangkat dari beberapa aspek ideologis, hambatan terbesar adalah penentangan dari LSM lingkungan yang mayoritas ‘anti-nuklir’.

Pasalnya, LSM dimaksud rerata pengemban ideologi sosialisme yang secara historis maupun saat ini menganggap energi nuklir adalah manifestasi dari kapitalisme, yang notabene adalah musuh besar sosialisme.

“Mereka aslinya khawatir bahwa energi nuklir akan membawa pertumbuhan ekonomi sangat besar, memperkuat industri, dan pada akhirnya merusak alam dan menyebabkan ketimpangan sangat besar serta kelas-kelas sosial sangat banyak,” urainya.

Dengan kata lain, ideologi inilah yang kemudian diemban kuat dan masih menjadi pondasi untuk memengaruhi masyarakat agar menolak pengembangan teknologi nuklir, dan hanya menerima energi terbarukan semata.

Selain aspek ideologis, Andika juga memaparkan hambatan dari sisi ekonomis, yakni merasa terganggunya pasar energi fosil khususnya batu bara. Dalam hal ini, jika energi nuklir berikut keandalannya sudah bisa dimanfaatkan, para pengusaha khawatir orang tidak akan lagi bergantung pada batu bara.

Ambil misal pembangunan PLTN di Finlandia yang sempat molor 10 tahun dari jadwal, sehingga biaya membengkak tiga kali lipat. Namun ketika akhirnya PLTN beroperasi, harga listrik justru turun bersamaan permintaan batu bara yang bisa dipastikan juga berkurang.

“Ada value besar dari energi nuklir yang bisa masuk ke dalam jaringan listrik, yang tidak bisa ditawarkan oleh batu bara,” jelas Andika, yang sekali lagi berarti pengusaha energi fosil bisa jadi penghambat besar diterapkannya energi nuklir.

Demikian ia pun mencatat bahwa hambatan-hambatan tersebut muncul sebagai imbas banyaknya swasta menguasai sumber daya alam terutama minerba di negeri ini.

Sebaliknya, hambatan tak akan muncul jika negara berani mengambil alih penguasaan seluruh sumber daya alam sebagaimana seharusnya dilakukan. “Semisal swasta tidak boleh menguasai sumber daya minerba, hanya negara yang mewakili umat sebagai pemilik aslinya, maka masalah seperti ini tidak perlu terjadi,” tandasnya.

Isu Politik

“Kekurangan sebenarnya lebih ke arah sensitif isu politik,” imbuhnya, mulai dari persepsi keliru soal risiko keselamatan hingga isu proliferasi (pemanfaatan untuk kepentingan militer).

Sedangkan, isu proliferasi ini membuat tidak ada negara yang sungguh-sungguh bisa independen dalam pengembangan teknologi PLTN, karena selalu diawasi pihak internasional.

“Setidaknya, untuk saat ini isu proliferasi juga yang membuat hanya sedikit negara yang memiliki fasilitas pengayaan uranium dan reprosesing bahan bakar, karena politik internasional yang didikte Amerika Serikat sangat rewel masalah non-proliferasi ini,” bebernya.

Keunggulan Energi Nuklir

Energi nuklir, kata Andika menjelaskan, memiliki banyak keunggulan. Dengan catatan apabila pengembangannya benar secara teknis maupun politis, utamanya di aspek keterjangkauan (affordability).

Sebagai perbandingan, jika PLTU 1000 MW membutuhkan 1,8 juta ton batu bara per tahun, maka PLTN 1000 MW Generasi III hanya butuh 200 ton uranium per tahun dan Generasi IV hanya 1 ton per tahun.

Tak ayal, dikarenakan butuh bahan bakar sangat sedikit, biaya energinya pun menjadi murah atau lebih terjangkau daripada PLTU. Karenanya pula, maka potensi uranium dan thorium yang sudah teridentifikasi saat ini, lalu digunakan di PLTN Generasi IV, akan cukup untuk 100 GW PLTN selama ratusan tahun. “Itu dua kali lipat kapasitas pembangkit listrik saat ini,” tegasnya.

Ditambah, PLTN tidak melepaskan emisi gas rumah kaca, sehingga sangat berguna untuk menurunkan emisi karbon dan mitigasi perubahan iklim.

Kendati terdapat kekurangan berkenaan keselamatan PLTN yang dianggap sebagian pihak sebagai kekurangan terbesarnya. Tetapi menurut Andika justru sebaliknya.

“Justru keselamatan PLTN itu sudah sangat baik, jauh lebih baik daripada PLTU batubara atau gas alam,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

 

Share artikel ini: