Indef Sebut G20 Tak Bisa Selesaikan Masalah Seluruhnya, Bagaimana Indonesia?
Mediaumat.id – Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dr. M Rizal Taufikurrahman menilai Forum G20 tak bisa menyelesaikan keseluruhan masalah termasuk di dalamnya Perang Rusia-Ukraina.
“Sebenarnya G20 tidak bisa menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Mengapa? Karena Putinnya juga enggak datang,” ujarnya dalam rubrik Catatan Peradaban, Hajatan G20: Indonesia Untung Atau Buntung? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Kamis (17/11/2022).
Sebenarnya pula, lanjut Rizal, ketidakhadiran Presiden Rusia tersebut memberikan sinyal bahwa perang yang telah berlangsung sejak 23 Februari 2022 dan telah mengubah total geopolitik berikut perekonomian dunia itu tetap akan terjadi.
“Perang Ukraina dan Rusia justru itu punya dampak yang besar terhadap pasar global,” bebernya, terkait dampak yang sebelumnya dikhawatirkan oleh banyak negara.
Padahal Forum G20 juga telah melahirkan komunike yang salah satu poin berisi kecaman atas perang di Ukraina dan menuntut agar Rusia segera menarik pasukannya tanpa syarat. Namun tetap saja, menurut Rizal, belum bisa menyelesaikan konflik perang tersebut.
“Rasanya itu enggak selesai. Malah menteri luar negerinya yang dikirimkan, menteri luar negeri Rusia, ya beda power-nyalah,” tandasnya.
Sehingga ia pun memandang, selama perang masih berlanjut, proyeksi perekonomian dunia tahun depan, bakal sama seperti saat ini yakni dibayang-bayangi resesi hingga ancaman krisis.
Indonesia
Makanya, secara Indonesia, Rizal mengimbau agar sebisa mungkin memanfaatkan keadaan. Artinya, dikarenakan tidak terlalu banyak melakukan hubungan dagang dengan Rusia sebagaimana negara-negara lain yang justru semakin berat menghadapi dampak dari perang ini, Indonesia mestinya mampu menggerakkan ekonomi lebih maksimal di dalam negeri dari situ.
“Windfall profit dari penjualan komoditas tambang kemudian yang sekarang menjadi surplus itu mestinya di-drive (digerakkan) di situ,” tuturnya, mengenai keuntungan yang didapatkan dari lonjakan harga komoditas yang tidak terduga tersebut, akibat perang.
Bahkan Indonesia pun mestinya melakukan kerja sama di tengah peluang-peluang yang ada di dalam Forum G20 agar bisa masuk lebih dalam ke pasar internasional. “Bukan kemudian kita membebek, mengikuti apa yang tren misalkan oleh negara-negara besarnya,” ucapnya.
Tak hanya itu, pemerintah Indonesia harus berani memanfaatkan celah dalam upayanya mengambil keuntungan lebih besar lagi. “Begini, kalau kemudian G20 ini bisa merenegosiasi beberapa hal-hal strategis yang kemudian tidak memberatkan fiskal kita, itu baru keren itu,” sebutnya.
Apalagi bicara tentang komoditas dalam negeri. “Komoditas kita itu, itu diperlukan oleh dunia sekarang terutama Cina dan India,” ungkapnya.
Sebutlah nikel yang banyak diekspor ke Cina, dan minyak sawit atau biasa disebut crude palm oil (CPO) ke India. Sementara seperti diketahui, dua negara itu sedang ‘ngebut’ untuk bisa menguasai dan mempengaruhi ekonomi dunia.
Dengan kata lain, manakala kondisi dalam negeri dari dua negara itu tidak stabil, dunia juga bakal terpengaruh perekonomiannya.
Lantaran itu, sambung Rizal menekankan sekali lagi, semestinya pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan Forum G20 itu untuk dijadikan semacam nilai tawar ke negara lain agar bisa memiliki kekuatan awal dalam hal menggerakkan perekonomian di dalam negeri.
“Itu mestinya, sehingga Indonesia punya bargaining power (kekuatan tawar) di dalam mereposisi ekonomi kita pasca pandemi,” tegasnya.
Apalagi tambahnya, Indonesia sekarang tak hanya mampu menjadi negara yang bisa menyuplai bahan baku untuk membangun industri di dua negara itu, tetapi juga ke Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Eropa.
Lantas, mengenai banyaknya potensi investasi yang masuk, diharapkan pemerintah Indonesia lebih mampu memilah yang realisasinya bisa menggerakkan sektor-sektor yang menciptakan nilai tambah.
Dengan catatan, investasi yang akan dilakukan bukanlah dalam bentuk pinjaman, seperti halnya di sektor keuangan yang tidak bisa merekrut tenaga kerja banyak dalam negeri. “Makanya investasi itu memang butuh detailisasi, betul,” cetusnya, membenarkan ucapan penanya.
“Misalnya lokasi di mana, kemudian kapasitas berapa, kira-kira menyerap tenaga berapa. Ada perencanaan investasinya,” pungkasnya.[] Zainul Krian