Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan Bank Indonesia sudah kehabisan opsi untuk menstabilkan rupiah. “Jika suku bunga acuan tidak naik dikhawatirkan rupiah makin merosot dan cadangan devisa akan tergerus,” ujar Bhima saat dihubungi, Rabu (15/8/2018).
Positifnya, bunga instrumen berdenominasi rupiah semakin menarik di mata investor asing. Yield SBN tenor 10 tahun saat ini cukup tinggi yakni 8%.
“Yield berbanding terbalik dengan harga surat utang. Artinya kalau yield SBN naik maka minat investor khususnya asing untuk membeli SBN menurun, harga turun,” jelas dia. Menurut dia, kondisi ini yang ingin diatasi oleh otoritas moneter lewat kenaikan bunga acuan yakni menurunkan yield.
Masuknya investor asing ke pasar surat utang akan menambah permintaan rupiah. Sementara itu, di sisi negatifnya, perbankan mulai melakukan penyesuaian bunga kredit sehingga biaya peminjaman atau cost of borrowing bagi sektor swasta semakin berat.
“Ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi karena pelaku usaha menahan ekspansinya. Proyeksi pertumbuhan ekonomi akan berkisar 5,1% jauh di bawah target APBN 5,4%,” paparnya. Ke depan yang perlu jadi perhatian adalah melebarnya defisit transaksi berjalan karena membuat permintaan dolar konsisten meningkat.
Kondisi neraca perdagangan pun diproyeksi akan melanjutkan defisit hingga akhir tahun. Tekanan dari kenaikan Fed rate pada bulan September dan Desember harus disikapi BI dengan melakukan adjustment bunga acuan 25-50 bps lagi. “Harapannya BI konsisten melakukan kebijakan pre-emptives menghadapi tren gejolak moneter saat ini,” pungkasnya.[]
Sumber: sindonews.com