Mediaumat.id – Kondisi Muslim Uighur di Xinjiang, Cina yang semakin mengerikan —sejak diberlakukannya UU anti-ekstremisme pada Maret 2017 hingga kini oleh rezim komunis Cina— hanya bisa dibebaskan dengan khilafah.
“Hanya kekuatan geopolitik Islam yang bisa membebaskan Muslim Uighur dan tanah mereka, Xinjiang. Kekuatan itu adalah khilafah,” ujar Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara kepada Mediaumat.id, Ahad (26/12/2021).
Pasalnya, memang tidak ada yang bisa diharapkan dari para penguasa negeri Muslim yang menurut Fika, justru tunduk pada superioritas Cina. Apalagi adidaya Amerika Serikat (AS) atau negara Barat lainnya yang malah terus mengambil keuntungan dari penderitaan Uighur sebagai alat menjegal Cina.
Fika juga membenarkan, sejak lima tahun terakhir, apalagi sejak ditemukannya kamp konsentrasi, dunia mengetahui skala mengerikan penindasan rezim komunis Cina terhadap Uighur sebagai tanah Muslim. “Uighur telah berubah menjadi tanah penindasan sewenang-wenang berikut pengintaian dengan teknologi tingginya,” tambahnya.
Meski begitu, Cina secara agresif membantah tuduhan kejahatan kemanusiaan yang menargetkan Uighur dan orang Turki lainnya. Baik melalui proksi media, korps diplomatik, penguat media sosial, dan beberapa negara mitra.
Bahkan pada Mei 2021 lalu, Cina menyelenggarakan selebrasi perayaan Idul Fitri pertama kalinya untuk komunitas Uighur dengan mengundang berbagai utusan diplomatik, yang menurut Fika malah terkesan janggal dan ingin melakukan pencitraan ulang akan sikap Cina terhadap Uighur.
Padahal sudah banyak penelitian investigatif yang melaporkan tindakan kekerasan sistematis rezim komunis Cina pada Muslim Uighur. “Yang terbaru (pertengahan November 2021) adalah laporan dari Museum Memorial Holokaus AS (The United States Holocaust Memorial Museum) yang menyatakan Cina mungkin melakukan genosida terhadap Muslim Uighur,” tandasnya.
Malah, imbuh Fika, laporan yang dirilis oleh Pusat Pencegahan Genosida Simon-Skjodt juga memuat sejumlah pelanggaran yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina. Misal, tuduhan sterilisasi paksa, kekerasan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pemindahan paksa warga Uighur di wilayah Xinjiang Barat.
Bahkan berdasarkan informasi tersebut, sambung Fika, perilaku pemerintah Cina dinilai telah melampaui kebijakan asimilasi paksa. “Setelah dipenjara, mereka dipaksa menjalani pendidikan ulang yang dimaksudkan untuk menghapus budaya Uighur dan keyakinan Islam,” bebernya.
Begitu juga dengan beberapa laporan lain yang mengatakan lebih dari satu juta orang Uighur dan sebagian besar orang Muslim lainnya telah dipenjara di kamp-kamp di Xinjiang dalam upaya untuk membasmi kebiasaan Islam. Mereka yang patuh terhadap ajaran agama, termasuk shalat, berpuasa, atau tidak minum alkohol telah ditangkap.
Selain itu, laporan juga menyebut ratusan ribu wanita Muslim Turki telah menjalani pemeriksaan kehamilan wajib. Di antaranya pemasangan paksa alat kontrasepsi (IUD), sterilisasi maupun aborsi. Bahkan diketahui seorang tahanan wanita menceritakan dia diperkosa beberapa kali oleh petugas polisi setelah mereka memukulinya.
Yang lebih mengerikan lagi, kata Fika, Cina dengan bangga mempromosikan hasil dari ‘alumni’ kamp konsentrasi Uighur melalui saluran TV resminya, CGTN. “Cina memperkenalkannya dengan sebutan Uighur baru yang menampilkan empat mantan tahanan kamp Uighur,” lansirnya dengan menambahkan bahwa setiap orang dimaksud menunjukkan keterampilan kejuruan yang dipelajari di kamp.
“Ada artis, agen real estate, kasir, dan seseorang di ‘perhotelan’, Xinhua,” ucapnya mengutip Global Times dan CGTN yang juga mempromosikan narasi yang berporos pada transformasi kepribadian Uighur.
Perang Kepentingan
Berkenaan dengan sikap AS dan sekutunya yang bermanuver menekan Cina, Fika memastikan bahwa itu sekadar perang kepentingan, bukan benturan ideologi. “Sikap AS ini hanya demi mempertahankan kepentingannya, secara khusus masalah ekonomi,” ujarnya.
Hal itu tampak di tahun 2021 Cina banyak diwarnai tekanan dari banyak forum internasional melalui PBB terutama dari Eropa dan AS. “Baru-baru ini AS, Inggris, Australia, serta Kanada mengumumkan boikot diplomatik atas Olimpiade Beijing pada 2022,” urai Fika.
“Terakhir AS juga mengesahkan undang-undang larangan impor dari Xinjiang untuk memprotes kerja paksa yang diduga dilakukan Cina pada pekerja dari Uighur,” imbuhnya.
Kalaupun konflik ideologi, patut dipertanyakan kenapa yang diboikot olimpiade dan impor dari Xinjiang. Padahal sekali lagi isu Uighur bukan sekadar soal kerja paksa dan ekonomi. “Kenapa tidak terjadi konfrontasi militer terkait hal ini?” herannya.
“Ini menunjukkan AS dan Cina masih satu kubu dalam hal ideologi,” tegasnya sembari mengatakan bahwa yang terjadi hari ini semata upaya jegal-menjegal kepentingan agar AS bisa mengendalikan kekuatan ekonomi Cina yang kian menggurita.
Sehingga terkait manuver AS, Fika menekankan kembali bahwa sebenarnya memang tak ada yang tulus untuk umat Islam, apalagi bagi Islam. “Untuk menekan Cina, AS berlindung di bawah mantra HAM yang selalu menjadi jualannya untuk mencampuri urusan negara lain,” terangnya.
Dengan demikian, Fika menuturkan agar umat Islam senantiasa jangan tertipu dengan AS dan negara-negara Eropa yang bersikap seolah-olah menjadi pahlawan bagi Uighur. Padahal, di halaman belakang mereka sendiri berlumuran darah umat Muslim.
Pragmatisme
Dikarenakan terbelenggu dengan kepentingan pragmatisme dan dangkal untuk memelihara hubungan dagang dengan Cina, kebanyakan dari para penguasa negeri Muslim termasuk Indonesia pun, menurut Fika juga tidak punya sikap dan pendirian yang jelas soal Muslim Uighur.
Sikap yang menurutnya sungguh menyedihkan ketika seorang penguasa negeri Muslim membiarkan diri mereka tunduk pada kekuatan modal tersebut, juga dinilainya karena kebijakan polugri dimaksud terbelenggu dalam sikap pasif doktrin bebas aktif yang digemakan selama ini. Sehingga nampak hanya sekadar slogan.
“Adanya belenggu sekat-sekat nasionalisme, banyak penguasa negeri Muslim lebih setia pada kepentingan bangsanya dibanding saudara mereka satu akidah,” sambungnya.
Namun, perlu diingat, Cina pernah gemetar dan tunduk di bawah panglima besar Muslim, Qutaibah bin Muslim (49-96 H / 669-715 M) di masa Khalifah Walid bin Abdul Malik. “Dengan izin Allah sejarah akan kembali berulang. Khilafah Islam akan membebaskan Xinjiang. Menyatukannya dengan Afghanistan, Kirgistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan semua negeri Muslim di Asia Tengah. Islam akan kembali bersinar di daratan Cina yang luas, bi idznillah,” pungkasnya.[] Zainul Krian