Impor Sejuta Ton Beras, Ustaz MIY: Negara Tunduk Kepada Kepentingan Pemilik Modal
Mediaumat.news – Rencana pemerintah yang akan mengimpor satu juta ton beras dari Thailand pada akhir Maret 2021 ini dinilai Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (MIY) sebagai bentuk ketundukan kebijakan negara kepada kepentingan pemilik modal.
“Sepanjang politik atau kebijakan negara itu tunduk pada kepentingan-kepentingan pemilik modal kepentingan dagang, maka akan selamanya seperti ini,” ujarnya dalam acara Diskusi MU: Menguak Karut Marut Politik Perberasan, Ahad (21/3/2021) di kanal YouTube Media Umat.
Ustaz MIY mengatakan bisnis impor-ekspor beras itu memang sesuatu yang sangat menggiurkan karena bisa mendapatkan keuntungan dalam waktu yang sangat cepat. Menurutnya, kenaikan harga beras itu bisa dibuat, sebab kenaikan harga beras itu ada yang riil dan ada yang memang sengaja dibuat.
Ia melihat, sekarang ini politik pangan kalah dengan politik dagang. Politik pangan adalah terkait dengan ketahanan pangan, kebijakan pertanian dan sebagainya. Sedang politik dagang memakai logika dagang, yaitu beli jual dan untung, atau bagaimana memperoleh keuntungan secara cepat.
Sehingga menurut ustaz MIY, ketika sekarang ini harga beras di Vietnam atau negara produsen beras lainnya lebih murah dari Indonesia. Maka insting pedagang akan beli di sana alias impor dan jual di sini.
“Kalau negara itu tunduk pada politik dagang atau kaum pedagang, maka akan ada yang menjadi korban, siapa korbannya? Korbannya ya petani,” bebernya.
Ustaz MIY menilai, pejabat negara Indonesia sejak dulu berpihaknya kepada siapa saja yang bisa memberikan rente, yaitu para oligarki pemilik modal. Sehingga dulu pernah terjadi ekspor beras dengan alasan over produksi dan pada saat yang sama juga impor beras dengan alasan untuk menjaga cadangan beras. Padahal kalau memang over produksi kenapa masih impor?
“Ini sudah bukan hanya kontradiktif, tapi juga merusak akal sehat kita,” ucapnya.
Ustaz MIY menyebut, hal itu dipengaruhi oleh ketidakjelasan posisi negara di tengah-tengah tarikan kepentingan politik pangan dan politik dagang tersebut.
“Selama negara ini tidak jelas mengambil posisi, maka peristiwa ini akan terus berlangsung,” pungkasnya.[] Agung Sumartono