Impor Rektor Asing, Emoh…
Oleh: Lukman Noerochim
“Kami mencari yang standar internasional,” kata Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Ismunandar kepada Tempo.co pada Senin, 5 Agustus 2019. Sebelumnya, Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan, calon rektor asing harus menunjukkan rekam jejak dalam meningkatkan performa perguruan tinggi, terutama dalam peningkatan hasil riset dan inovasi yang menjawab kebutuhan pasar.
Menyikapi kebijakan tersebut Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta periode 2018-2021, Koentjoro, mengkritik dan menolak wacana impor rektor asing yang digulirkan Menristekdikti, M Nasir. “Kalau saya menolak sebagai pribadi maupun (tidak),” ujar Mantan Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI) ini saat dihubungi wartawan, Selasa (6/8/2019).
Koentjoro justru bertanya balik kepada Menristekdikti mengapa Indonesia harus mengimpor rektor asing. Jika ada persoalan dalam manajemen kepengelolaan perguruan tinggi, maka ia mempertanyakan apa persoalannya. “Apakah kalau (impor) rektor asing itu kemudian terselesaikan masalahnya? Masalahnya (sehingga harus impor) rektor asing itu apa? Manajemennya yang salah di mana?” tegasnya sebagaimana dikutip dari detik.com (6/8/19).
Bisa dipahami usul ini dianggap sebagian masyarakat sebagai upaya pemerintah menutup-nutupi kegagalan mereka mengembangkan sumber daya di bidang pendidikan. Di saat yang sama, para dosen belum mendapatkan semacam ‘program integral’ dalam upaya peningkatan mutu dosen lokal. Sementara akar masalahnya adalah pengelolaan perguruan tinggi, maka selama system pendidikan dan sistem pengelolaannya diperbaiki, peningkatan kualitas akan mengikuti.
Sebagian masyarakat menduga Indonesia terperangkap dalam jebakan pemikiran power distance yang secara sederhana dapat menjawab mengapa rektor harus ekspatriat. Pemerintah harus introspeksi diri, mestinya pemerintah membuat peta jalan yang jelas untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik. dalam peta jalan itu mengundang dosen luar bisa masuk dalam salah satu program saja. Jadi jangan bikin program-program yang pragmatis, yang tidak terorganisir dengan baik.
Sistem pendidikan juga perlu dikoreksi, dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 53, lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam pasal 47 ayat 2 dinyatakan bahwa sumber pendanaan pendidikan adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Menurut pasal 49 ayat 3, pendanaan pendidikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada lembaga pendidikan diberikan dalam bentuk hibah. Bagaimana peran masyarakat dinyatakan oleh pasal 54 ayat 2, yakni masyarakat memiliki peran sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat dijelaskan oleh pasal 54 ayat 1 yaitu individu, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan.
Konsekuensinya, pengelolaan dan pendanaan kampus dilakukan sendiri oleh BHMN, sedangkan pemerintah tidak memikul tanggung jawab apapun kecuali memberikan hibah saja. Efeknya, pemerintah secara sistematis berubaya menggeser peranan dan tanggung jawabnya dalam pendidikan kepada masyarakat. Akibatnya PTN yang menjadi BHMN harus mencari sendiri sumber pembiayaan pendidikan dengan cara menaikkan biaya pendidikan dan mengkomersilkan sarana-sarana pendidikan yang dimiliki oleh BHMN.
Patut diduga komersialisasi pendidikan merupakan dampak dari Konsensus Washington. Pada tahun 1980 di Washington DC, Amerika Serikat dan Negara-negara maju, IMF dan Bank Dunia, serta MNC, melakukan pertemuan yang menghasilkan Konsensus Washington (KW). KW pada intinya merupakan program penyesuaian struktural yang hendak diterapkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dalam khususnya dalam bentuk pencabutan subsidi, menaikkan harga-harga barang publik, privatisasi aset strategis dan sumber daya alam.
Adanya komersialisasi pendidikan merupakan bagian dari program pengurangan dan penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan melepaskan harga dan biayanya kepada mekanisme pasar. Komersialisasi pendidikan juga merupakan salah satu bentuk program privatisasi aset-aset negara.
Padahal, fungsi pemerintahan di dalam Islam adalah ri’ayatu as-su’un al-ummah (memelihara dan mengatur urusan umat) dengan syariat Islam. Pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab negara baik dari sisi pembiayaan maupun pelaksanaannya. Kebijakan yang telah diambil pemerintah dan DPR merupakan upaya tersistem untuk mengalihkan tanggung jawab negara ke pundak rakyat sehingga akan memperparah penderitaan yang sudah dialami rakyat.[]