Oleh : Achmad Fathoni (Direktur el-Harokah Research Center)
Akhirnya Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017 yang diteken Presiden Jokowi pada 10 Juli 2017 lalu disahkan juga sebagai Undang-undang di DPR pada Selasa, 24 oktober 2017. Meski sejak kelahirannya ia telah menuai banyak kontroversi, namun nyatanya ada tujuh fraksi di DPR yang justru menyetujuinya. Padahal, berbagai dialog di televisi dan kritikan massa lewat media soaial maupun aksi besar jelas menjadi bukti atas tidak relanya masyarakat terhadap Perppu itu. Ada beberapa reaksi masyarakat yang terbaca lewat putusan ini. Bagi para penolak Perppu, seperti eks HTI dan simpatisannya, bisa jadi hari ini merupakan berita duka, sebab selama ini apa yang mereka perjuangkan terjawab sudah yaitu ditolak oleh pemerintah. Namun bagi para pendukung Perppu, keputusan ini tentu terasa begitu menggembirakan, seolah-olah ini sebuah kemenangan besar yang patut dibanggakan (http://www.justice-monitor.com/2017/10/get-up-alarm-represifitas-semakin.html?m=1)
Publik patut mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (sesungguhnya semuanya dari Allah dan semuanya akan kembali kepada Allah). Itulah salah satu kalimat thayyibah yang patut publik ucapkan pasca pengesahan Perppu Ormas menjadi Undang-undang Ormas. Pasalnya Perppu yang sangat kontroversi dan mendapatkan penolakan yang besar dari masyarakat, bahkan ditambah Aksi Bela Islam yang melibatkan ratusan ribu orang yaitu Aksi 299 dan 2410, tak menyurutkan nyali anggota DPR untuk mengesahkan Perppu Ormas tersebut, kecuali hanya tiga fraksi yang menolak dengan tegas yaitu Fraksi Gerindra, PAN, dan PKS. Sedangkan tujuh partai koalisi pendukung rezim (PDIP, Golkar, Hanura, Demokrat, Nasdem, PPP, dan PKB) secara aklamasi menyetujui pengesahan Perppu Ormas sebagai Undang-undang. Padahal, menurut banyak pakar hukum penerbitan itu cacat dan bermasalah secara formil maupun materiil. Itu artinya penerbitan Perppu Ormas tersebut bersifat politis, yaitu upaya rezim menegasikan kelompok dan lawan-lawan politik yang sangat kritis terhadap rezim. Dan yang menjadi korban yang pertama dan utama adalah Ormas HTI yang telah dicabut SK BHP-nya selang sepuluh hari pasca penerbitan Perppu Ormas tersebut.
Dengan Penerbitan Perppu Ormas, yang sekarang telah resmi menjadi Undang-undang Ormas, rezim berharap rival-rival politik dan kelompok-kelompok “anti rezim” bisa diberangus sampai ke akar-akarnya. Sehingga tujuan politik ke depan bisa mulus tanpa halangan. Termasuk di dalamnya Ormas HTI yang mereka tuduh sebagai “otak” di balik terjunggalnya Ahok dari kursi gubernur DKI Jakarta, dengan opini “Tolak Pemimpin Kafir” dan “Haram Memilih Pemimpin Kafir”, sehingga membuyarkan goal setting rezim dalam meguasai negeri ini ke depan. Sehingga untuk memuluskan “tahun politik” di tahun 2018 dan 2019 dengan pesta Pilkada dan Pileg-Pilpres, Ormas HTI yang dianggap “duri dalam daging” oleh rezim secepatnya bisa dibabat habis. Memang rezim ini menerapkan politik stick and carrot, dengan merangkul pihak yang mau diajak “bersekutu” dan “menghabisi” pihak yang berseberangan. Itulah latar belakang sebenarnya rezim ini menerbitkan Perppu Ormas tersebut, dan yang jelas terget pertama dan utama adalah “menghabisi” Ormas HTI paling lama akhir tahun 2017 ini.
Namun sayang, sepertinya rezim kali ini salah langkah, penuh emosional, kurang matang dalam perhitungan, dan bermain terlalu kasar ala preman, kurang smart serta kurang cermat. Seharusnya, jika ingin menghabisi Ormas HTI bukan sekarang waktunya, tetapi harusnya dilakukan tiga puluh tahun yang lalu sebelum Ormas HTI membesar dan mengakar di tengah masyarakat seperti sekarang. Pasalnya Ormas HTI merupakan organisasi kader, proses kaderisasinya berjalan simultan, pengelolaan organisasinya sangat profesional, secara internal mereka sangat solid, militansi kadernya luar biasa, dan ikatan ukhuwah di antara mereka sangat kuat. Selain itu jumlah kader dan simpatisannya sangat banyak, beragam, dan telah menyebar di seluruh pelosok negeri ini. Bahkan menurut Peneliti dari Australia, Sidney Jones, memperkirakan kader HTI sebanyak 2,5 juta orang. Padahal penelitian itu telah dilansir di atas lima tahun yang lalu, apalagi sekarang tentu rezim lebih tahu jumlah pastinya. Ditambah lagi, kader yang dimiliki HTI sangat beragam dari semua elemen masyarakat terwakili di dalamnya, mulai dari santri hinga kyai, dari orang awam hingga Intelektual, dari pelajar hingga mahasiswa strata 1 sampai strata 3 (bahkan sebagian di antaranya bergelar profesor), dari para pekerja kasar hingga profesional, dari umur belia sampai orang tua, semuanya ada di HTI. Rezim saat ini tentu juga sangat paham persaudaraan dalam Islam adalah seperti satu tubuh, jika ada salah satu organ tubuh yang sakit, maka organ tubuh yang lain juga akan merasa sakit. Maka jika rezim memperlakukan Ormas HTI dengan sewenang-wenang, maka umat Islam yang lain akan bersatu membela Ormas HTI mati-matian dan akan melawan rezim secara bersama-sama. Dan jika itu terjadi maka akan menjadi mala petaka besar bagi rezim saat ini. Secara faktual itu telah terjadi saat “Arab Spring” di negara-negara Timur Tengah, dengan tergulingnya rezim otoriter di sana oleh rakyatnya sendiri. Maka jika rezim saat ini ingin menegasikan eksistensi dan peran Ormas HTI di negeri ini, tentu hal itu merupakan ilusi atau mimpi di siang bolong, yang jelas pasti akan gagal total.
Satu hal lagi kebijakan rezim saat ini yang sangat konyol dan gegabah, dengan mengkriminalkan ide khilafah yang memang getol disuarakan oleh Ormas HTI. Kebijakan ini bisa menjadi senjata makan tuan, artinya alih-alih rezim dengan Perppu Ormas (yang sekarang telah menjadi undang-undang ormas) bisa melibas Ormas HTI, justru sebaliknya Perppu Ormas itu akan “membunuh” rezim itu sendiri. Pasalnya ide khilafah itu bukan “hak paten” milik Ormas HTI, tetapi merupakan bagian dari ajaran Islam. Sehingga jika rezim akan mengkriminalkan ide khilafah, itu sama saja dengan membangunkan “singa tidur”, yaitu umat Islam secara keseluruhan. Artinya rezim telah menabuh genderang perang terhadap umat Islam yang merupakan pemilik sah ajaran Islam, yang di dalamnya terdapat ide khilafah (yang menjadi bagian dari fikih siyasah). Landasan ide khilafah sangatlah kuat, baik dari sisi teologis, empiris, maupun historis. Dari sisi teologis, jelas ide Khilafah bisa dirujuk dalam al-Qur’an, al-Hadist, dan ijma’ shahabat, serta khasanah kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama’ yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang secara jelas tertuang kata khalifah (QS. Al-Baqarah : 30): “…Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di atas bumi…”. Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini adalah pangkal (dalil pokok) dalam mengangkat Imam dan khalifah yang didengar dan ditaati. Untuk menyatukan kalimat (Islam) dan menerapkan hukum-hukum khilafah (syariat). Dan tidak ada khilaf (perbedaan) di antara umat dan para imam (Tafsir Al-Qurtubi juz I halaman 264). Ditambah lagi adanya bisyarah nubuwah (khabar gembira dari Nabi SAW) dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya khilafah ‘ala minhajin nubuwah setelah melewati empat fase peradaban sebelumnya. Juga terdapat ijma’ shahabat bahwa sepeninggal Nabi SAW mereka para shahabat sepakat mengangkat pengganti Nabi SAW sebagai pemimpin mereka, yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Para ulama’ dalam kitab-kitab mu’tabar juga telah menegaskan tentang wajibnya kaum muslimin mengangkat seorang khalifah. Di antaranya Syaikh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa mayoritas umat Islam dari kalangan ahlus sunnah, syiah, murji’ah, mu’tazilah berpendapat bahwa al-khilafah atau al-Imamah adalah perkara wajib, suatu kefardhuan yang pasti (kitab al-Fiqhu al-Islamiy wa ‘adilatuhu juz VIII halaman 273).
Secara empiris, ide khilafah sangat relevan dengan kondisi saat ini, di saat umat Islam terpinggirkan dalam seluruh aspek kehidupan oleh hegemoni negara-negara imperealisme Barat, maka ide khilafah sangat relevan dalam rangka menyatukan potensi umat Islam yang sangat besar yakni berjumlah 1,5 milyar orang di seluruh dunia, yang saat ini tersebar menjadi lebih dari 50 negara bangsa. Serta yang akan menjadi kekuatan penyeimbang untuk menghadapi imperealisme Barat. Dan secara historis, khilafah bukan sekedar ide tetapi merupakan institusi riil sebagai negara super power yang telah memimpin dunia lebih dari tiga belas abad. Bahkan menurut banyak sejarawan bahwa Barat sangat berhutang jasa dalam kemajuan peradaban kepada negara khilafah. Sebut saja Montgomery Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1994) menyatakan, “Peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi motornya, kondisi Barat tidak akan ada artinya”.
Dan patut untuk dipahami oleh rezim, bahwa khilafah adalah sebuah keniscayaan, kehadirannya tidak akan bisa ditolak, sebagaimana terbitnya matahari dari timur. Kemunculannya pun sudah amat dekat, dalam beberapa tahun mendatang. Itu bukanlah euforia atau isapan jempol, tetapi hal itu sudah diakui secara otentik oleh negara-negara Barat. Adalah NIC (National Inteligent Counsil), yang merupakan Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat, pada Desember 2004 telah merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future. Dokumen ini berisikan prediksi tentang masa depan dunia tahun 2020. Dalam dokumen tersebut NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni, (1) Dovod World: Kebangkitan Ekonomi Asia; Cina dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia, (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh Amerika Serikat, (3) A New Chaliphate : Kebangkitan Kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang akan mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat, (4) Cyrcle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia), yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia. Dari dokumen tersebut jelas sekali bahwa negara-negara Barat meyakini bahwa Khilafah Islam akan bangkit kembali. Menurut mereka, Khilafah Islam tersebut akan mampu menghadapi hegemoni nilai-nilai peradaban Barat yang kapitalistik dan sekularistik.
Maka jika rezim saat ini masih ngotot hendak melawan ide khilafah, maka itu merupakan halusinasi dan khayalan belaka. Karena sesungguhnya rezim telah melakukan tindakan yang sia-sia. Dan itu artinya rezim telah menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri. Hal itu tidak layak dilakukan bagi orang yang masih mempunyai akal sehat. Ketika khilafah tegak kembali dalam waktu yang relatif dekat di muka bumi, dengan idzin Allah SWT, maka tentu negara khilafah tersebut akan membuat perhitungan bagi rezim sekuler di negeri-negeri muslim, termasuk di Indonesia, yang telah melakukan tindakan kriminal terhadap ide khilafah dan pengembannya di masa lalu. Tentu bagi rezim yang bijak, dia akan berpikir jernih dalam menata negeri ini ke depan dengan menyiapkan diri dan menyongsong terbitnya fajar “klifafah” mendatang. Jika demikian, sudah saatnya rezim ini segera menghentikan dan membatalkan kebijakan mengkriminalkan Ormas HTI dan ide khilafah. Rangkullah Ormas HTI dan juga elemen umat Islam yang lain untuk bersama-sama membangun negeri ini dengan spirit mewujudkan Islam rahmatan lil-‘alamin dengan khilafah demi untuk kebaikan semua umat manusia. Wallahu a’lam.[]