Mediaumat.id – Secara kedaulatan, Sejarawan sekaligus Direktur Institut Literasi Khilafah dan Indonesia (ILKI) Septian AW menyampaikan, khilafah bukan milik Turki saja, tetapi dunia Islam seluruhnya.
“Khilafah ini bukan milik Turki saja melainkan milik dunia Islam seluruhnya,” ujarnya dalam Kelas Insidental ILKI #Bag. 1, bertema: Seruan Khilafah dalam Lintasan Sejarah, Jumat (29/4/2022) di Zoom Meeting.
Pasalnya, sambung Septian, khilafah sebagai bagian dari warisan umat Islam, peninggalan sejarah, dan lambang persatuan mereka.
Dengan kata lain, khilafah merupakan pimpinan spritual bangsa-bangsa Islam di segenap penjuru bumi yang telah berlangsung lebih dari seribu tiga ratus tahun. Sejak umat Islam mengadakan rapat untuk memilih Abu Bakar as-Shiddiq sebagai pengganti Rasulullah Muhammad SAW dalam hal kepemimpinan umat.
“Diikuti oleh Khalifah Kedua al-Farq Umar bin Khaththab, begitulah seterusnya silih berganti sepanjang masa, dalam berbagai dinasti sehingga berakhir pada abad keduapuluh ini,” imbuhnya menerangkan.
Maka itu, kata Septian, pasca Kekhilafahan Utsmaniah runtuh, wajar apabila umat Islam memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan memikirkan akibatnya, serta berpikir apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Padahal bagi Muhammad Bakhit al-Muthi’i, yang menjadi pimpinan Al-Azhar saat keruntuhan terjadi, penyebutan khilafah runtuh tidaklah tepat, sebagaimana penegasan beliau di dalam Haqiqa al-Islam wa Usul al-Hukm, Kairo: Al-Matba’a al-Salifiyya, 1925, hlm. 58, yang artinya,
‘…klaim runtuhnya khilafah dalam Islam tidaklah tepat. Satu-satunya yang hilang hanyalah keberadaan khalifah, dan menegakkan khilafah masih tetap menjadi kewajiban di pundak umat.’
Begitu pula dalam laporan simposium tentang khilafah yang diadakan di London pada 2010, Madawi al-Rasheed, profesor antropologi sosial menuliskan bahwa, ‘…konsep dan visi khilafah tetap hidup melampaui sejarah keberadaannya, dan hari ini telah menghasilkan perdebatan yang panas lebih dari ajaran Islam yang lain’ (Lihat: Demystifying the Caliphate: Historical Memory and Contemporary Contexts, New York: Oxford University Press, 2015, hlm. 1).
Dan ternyata hal serupa juga disampaikan Reza Pankhurst ketika menelisik fenomena munculnya perhatian umat terhadap khilafah. ‘…diskusi mengenai khilafah niscaya akan terus berlanjut dan menembus ruang publik dengan lebih dahsyat’ (Lihat: The Inevitable Caliphate? A History of the Struggle for Global Islamic Union, 1924 To the Present, New York: Oxford University Press, 2013, hlm. 208).
Bangkitkan Sentimen Islam
Meski pada hakikatnya khilafah telah runtuh bertahun-tahun lalu, tepatnya sejak 3 Maret 1924, ketiadaannya ternyata mampu membangkitkan sentimen dan emosi Islam di seluruh kalangan masyarakat.
Dengan kata lain, jelas Septian, tatkala khilafah runtuh, reaksi yang datang dari berbagai wilayah, seperti Mesir, Libya, Suriah, Afghanistan, India, tak terkecuali Indonesia, mencerminkan adanya ikatan mereka dengan khilafah.
Atas dasar itu, tambahnya, upaya simultan dilakukan para ulama di Al-Azhar untuk mendorong diadakannya konferensi khilafah.
Tak ayal, proposisi bahwa mereka akan mengadakan konferensi untuk menyelesaikan dilema kehilangan khilafah ini pun memicu kesibukan di kalangan Muslim di seluruh dunia.
Kendati juga pada 1925 terjadi guncangan pemikiran hebat di Mesir, di antaranya muncul buku Al-Islam wa-Ushul al-Hukm, dengan penulis Ali Abdur Raziq yang mengatakan bahwa Islam tidak mengatur masalah khilafah, pemerintahan dan negara, para ulama Al-Azhar dengan tegas menentangnya.
“Peran para ulama Al-Azhar tidak hanya sebatas menginisiasi konferensi, mereka juga banyak melakukan pembelaan ketika khilafah mulai dipermasalahkan,” tegas Septian.
Sebutlah Muhammad al-Khidr Hussein yang menulis buku Naqd Kitab al-Islam wa-Ushul al-Hukm sebagai bantahan dari klaim Ali Abdul Raziq. Sehingga buntut dari itu, ia disidang oleh Dewan Ulama al-Azhar setelah bukunya dikaji oleh dua puluh empat ulama. “Pada 12 November 1925, sebuah putusan dikeluarkan dengan suara bulat untuk mengecam dan mengeluarkan Raziq dari jajaran ulama,” bebernya.
Tetapi sayang, terlepas dari munculnya dukungan para ulama, pupusnya harapan pada konferensi khilafah tidak dapat dielakkan. “Tidak hanya ditunda selama satu tahun, konferensi Kairo juga disalahartikan sebagai upaya untuk menobatkan Raja Fu’ad sebagai khalifah,” sesalnya.
Pun sama halnya dengan konferensi lain di Makkah yang diadakan Sharif Hussain (1924), dan Ibnu Saud (1926) juga tidak efektif menyelesaikan masalah khilafah. “Tidak ada keputusan apa pun yang diambil baik dalam konferensi, maupun dalam kegiatan apa pun yang dilaksanakan setelahnya,” sebutnya.
Memasuki tahun 1931, lanjut Septian, sebuah konferensi Islam yang diadakan di Yerusalem bahkan khilafah tidak lagi memiliki daya tarik untuk dibahas.
Namun seiring munculnya kesimpulan kongres tentang kemustahilan mendirikan khilafah, yang juga berpotensi mendorong umat Islam ke dalam depresi dan menjauhkan mereka dari semua harapan, muncul pula koreksi keras dari Syekh Muhammad al-Ahmadi al-Zawahiri yang tak ingin spirit umat Islam hilang di tengah gagalnya mengupayakan kembalinya khilafah.
“Untuk mencapai khilafah di zaman ini sesungguhnya sudah mungkin, hanya saja cara untuk mencapainya belum ditemukan, sehingga perlunya umat Islam kerja siang dan malam untuk mencapainya,” tutur Syekh al-Zawahiri.
Faktor Pemikiran Barat
Sehingga, menelisik realitas sejarah pada periode itu, kata Septian, penyebab hilangnya seruan khilafah paling tidak didorong oleh dua hal. Pertama, bercokolnya pemikiran alternatif Barat. Dan kedua, hilangnya gambaran khilafah di tengah umat akibat kekacauan penerapannya di zaman Utsmaniah.
“Sementara itu, nasionalisme, negara bangsa, dan sekularisme berdiri agung sebagai simbol kemerdekaan dan kemajuan,” tukasnya.
Akhirnya umat melirik alternatif politik lain. “Alih-alih kembali kepada khilafah justru wacana dominan tahun 1930-an hingga setelahnya menjadikan demokrasi dan nasionalisme sebagai arah sikap politik mereka,” ujarnya.
Sehingga pula sampailah pada titik pemahaman khilafah sebagaimana penuturan Dr. Abd al-Razzaq al-Sanhuri (1895–1971) mengenai rincian khilafah yang semakin jauh dari hakikatnya.
“Dia (al-Sanhuri) tulis dalam tesis Ph.D. keduanya di Universitas Lyon dan diterbitkan pada 1926 dengan judul, Le Califat: Son Evolution Vers Une Societedes Nations Orientale (Khilafah: evolusinya menuju Liga Bangsa-Bangsa Timur),” terang Septian.
Malah tesis tersebut memberi gambaran tentang dewan perwakilan internasional yang mengambil posisi dan tugas khilafah. “Al-Sanhuri dianggap sebagai cikal intelektual organisasi kerjasama umat Islam yang didirikan pada 1969, Organisasi Konferensi Islam,” tambahnya.
Dipertegas oleh Sekretaris Jenderal OKI Ekmeleddin Ihsanoglu kala itu, imbuh Septian, OKI adalah referesentasi persatuan dan solidaritas yang sama seperti di masa lalu di bawah khilafah. Malah diketahui Ihsanoglu juga mengatakan, pada dasarnya OKI sudah menjalankan fungsi khilafah.
Namun klaim tersebut kata Septian kemudian dipermasalahkan, apakah layak OKI dianggap sebagai model internasional dari khilafah di era modern?
Dengan demikian, lanjutnya, pada titik ini umat sejatinya membutuhkan tajdid (pembaru) yang dapat mengembalikan gambaran khilafah sebagaimana yang ditunjukkan oleh syara’ dan kompatibel dengan kehidupan kontemporer.
“Di tengah harapan yang sempat pupus, sinar mentari datang kemudian ketika Syekh Taqiyuddin an-Nabhani bersama gerakan yang dia dirikan, Hizbut Tahrir, menyegarkan kembali makna khilafah dan mengingatkan kembali pada umat akan kewajiban mereka untuk menegakannya,” pungkasnya.[] Zainul Krian