Ikhtilaf yang Boleh dan yang Dilarang

 Ikhtilaf yang Boleh dan yang Dilarang

Oleh: Achmad Fathoni (Direktur El Harokah Research Center)

Perbedaan pendapat dalam khazanah Islam disebut dengan khilaf atau ikhtilaf. Sebagian ulama seperti pengarang kitab Fathul Qadir, Ad-Durr al-Mukhtar dan Hasyiyah Ibnu Abidin membedakan antara khilaf dan ikhtilaf. Istilah ikhtilaf digunakan untuk pendapat yang didasarkan pada dalil, sedang khilaf untuk pendapat yang tak berdalil. Ulama ushul dan fuqaha lainnya tak membedakan dua istilah itu (Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, II/190).

Thaha Jabir Al-Alwani mengangap sama istilah khilaf dan ikthilaf, yang didefinisikan sebagai sembarang perbedaan (mutlaq al-mughayarah), baik itu dalam pendapat, perkataan, keadaan atau sikap (Thaha Jabir Al-Alwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, hlm. 22).

Yang perlu dipahami adalah tidak setiap perbedaan itu dibolehkan (mu’tabar) dalam pandangan Islam. Ada perbedaan yang boleh dan ada yang tak boleh. Para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perbedaan pendapat ini dalam kitab-kitab ushul fikih ataupun kitab ushuluddin mereka.

Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, misalnya, diuraikan terdapat 4 (empat) macam perbedaan pendapat (ikhtilaf), baik dalam persoalan ushuluddin (akidah) maupun persoalan furu’ (hukum syariah) sebagai berikut. Pertama: persoalan ushuluddin yang dalilnya qath’i seperti keberadaan Allah, keesaan Allah, keberadaan malaikat, kenabian Muhammad saw., adanya kebangkitan sesudah mati, dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini tidak boleh ada ikhtilaf. Barangsiapa yang menyalahi perkara-perkara tersebut maka dia kafir.

Kedua: sebagian persoalan ushuluddin (akidah) yang dalilnya tidak qath’i, misalnya masalah melihat Allah (ru‘yatullah) di akhirat, masalah kemakhlukan al-Quran (khalq al-Quran), dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini masih ditoleransi adanya ikhtilaf, dalam arti yang berbeda pendapat tidak otomatis kafir. Namun, orang yang tak dikafirkan itu harus memenuhi syarat tidak menganggap dusta berita yang dibawa Rasulullah saw. Jika menganggap dusta, dia dikafirkan. Demikian keterangan Imam al-Ghazali.

Ketiga: persoalan furu’ (hukum syariah) yang dalilnya qath’i, yakni yang disebut ma’lum[un] min ad-din bi adh-dharurah (perkara yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian ajaran agama Islam), seperti kewajiban shalat lima waktu, keharaman zina, dan semisalnya. Tidak boleh ada ikhtilaf dalam perkara-perkara ini dan barangsiapa yang menyalahi perkara-perkara tersebut maka dia telah kafir.

Keempat: persoalan furu’ (hukum syariah) yang bersifat ijtihadiyah, yakni yang dalilnya tidak qath’I; seperti jumlah rakaat tarawih, membaca qunut dalam shalat subuh, dan semisalnya. Dalam perkara-perkara ini boleh ada ikhtilaf dan menjadi medan ijtihad bagi para mujtahid. (Lihat: Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah, II/191).

Dari keempat macam ikhtilaf di atas, sebenarnya patokan boleh-tidaknya ikhtilaf adalah pada dalilnya, apakah dalilnya qath’i atau tidak qath’i. Jika dalilnya qath’i, tak boleh ada ikhtilaf. Jika dalilnya tak qath’i, masih ditoleransi adanya ikhtilaf.

Yang dimaksud dalil qath’i adalah dalil yang qath’i tsubut dan qath’i dalalah. Dalil qath’i tsubut adalah dalil yang dipastikan bersumber dari Rasulullah saw., yaitu al-Quran dan Hadis Mutawatir. Adapun qath’i dalalah adalah dalil yang hanya mempunyai satu makna (dalalah) saja, tidak lebih. Inilah pengertian dalil qath’i. Di luar dalil qath’i ini adalah medan ijtihad yang dibolehkan adanya ikhtilaf (Quthub Mushthofa Sanu, La Inkara fi Masa’il al-Ijtihad, hlm. 22-23; Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Khulashah fi Bayan Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 70).

Sebaliknya, jika ada suatu dalil qath’i, lalu ada yang menyalahi dalil itu, maka orang itu dihukumi kafir jika dia melakukannya secara sengaja. Misal, jika ada yang berfatwa bagian waris laki-laki dan perempuan adalah sama rata. Ini fatwa batil yang wajib ditolak dan tak boleh diamalkan. Orang yang berfatwa demikian sudah kafir dan murtad dari Islam. Sebab, fatwa ini bertentangan dengan dalil qath’i bahwa bagian waris untuk laki-laki adalah dua bagian waris untuk perempuan sebagaimana dalam QS An-Nisa [4] : 11. (M. Shidqi al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, VIII/914).

Mereka yang berbeda pendapat pada persoalan yang tak boleh berbeda pendapat dapat disebut orang yang sesat atau menyimpang. Sesat (dhalal) artinya adalah tidak mendapatkan petunjuk pada kebenaran (‘adam al-ihtida’ ila al-haq). Istilah lain dari sesat (dhalal) adalah penyimpangan (al-inhiraf/al-ghawayah). (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha`, hlm. 216 dan 255).[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *