Mediaumat.info – Terkait dibukanya opsi impor 1,5 juta ekor sapi perah dari India dan Brasil untuk penuhi program susu gratis kepada 82 juta anak Indonesia, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana tidak menginginkan apabila yang paling menikmatinya adalah oligarki.
“Tentu tidak kita inginkan apabila yang paling menikmati dibukanya keran impor ini adalah para pengusaha, para oligarki,” ujarnya dalam video Opsi Impor 1,5 Juta Sapi | Untungkan Importir? di kanal YouTube Justice Monitor, Jumat (12/1/2024).
Menurut Agung, dana impor sapi yang begitu besar akan lebih bermanfaat apabila digunakan untuk pengembangbiakan di dalam negeri sehingga akan tercipta kemandirian pangan secara nasional.
“Apalagi ketahanan pangan nasional telah menjadi isu yang terus diperbincangkan bertahun-tahun,” ungkapnya.
Di sisi lain, beber Agung, sejumlah pihak menilai bahwa Indonesia memang perlu impor sapi untuk memenuhi kebutuhan 4 juta ton susu segar per tahun, sebab saat ini produksi dalam negeri tidak mencukupi karena hanya mampu menyuplai 800.000 ton.
“Mungkin pilihan impor sapi perah itu masih realistis untuk mempercepat produksi susu segar. Namun kalau jumlahnya 1,5 juta ekor itu terlalu fantastis,” singgungnya.
Apalagi, lanjut Agung, rencana Prabowo yang mengimpor sapi dari India dikhawatirkan akan membutuhkan anggaran super jumbo sebab sapi perah dari India statusnya belum bebas dari wabah penyakit mulut dan kuku (PMK).
“Sapi yang berasal dari negara India itu harus dikarantina sesuai prosedur undang-undang,” katanya sembari mengingatkan, jangan sampai Indonesia menjadi muara tempat pertarungan para importir sapi dari seluruh penjuru dunia.
Sebenarnya, papar Agung, untuk memenuhi kebutuhan susu segar nasional per tahun Indonesia cukup menambah populasi sekitar 500.000 ekor sapi perah. Namun yang menjadi masalah adalah ketergantungan pada impor terkait dengan ketahanan pangan.
“Ketergantungan pada impor akan membuat negara rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar internasional. Inilah yang membuat negara ini sering bergantung soal pangan dengan dunia lain,” tegasnya.
Untuk itu, lanjut Agung, politik pangan harus diperbaiki. Ini yang penting untuk diperhatikan ke depan siapa pun yang akan memimpin negeri ini. Dan tentu hal itu akan terwujud bila sistem negeri ini ada perubahan.
“Selama ekonomi politik negeri ini berbasiskan kapitalisme, saya pikir sebuah mimpi saja untuk menemukan ketahanan pangan di dalam negeri,” pungkasnya. [] Langgeng Hidayat