IJM Sebut Lima Faktor Penyebab Indonesia Alami Problem Pangan
Mediaumat.id – Setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan Indonesia mengalami problem pangan. Hal itu dinyatakan Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana dalam video Pak Jokowi, Beras Mahal-Rakyat Miskin Tetap Membeli, Kamis (16/11/2023) di kanal YouTube Justice Monitor.
Pertama, pertanian banyak beralih fungsi menjadi kawasan industri misalnya, atau perdagangan perumahan, jalan tol dan sejumlah infrastruktur lainnya.
Dengan beralih fungsinya pertanian lanjutnya, walhasil lahan pertanian kian menyusut dan mengakibatkan produksi pertanian kian menurun.
Kedua, kerdilnya peran negara dalam merawat, menjaga, dan menyejahterakan petani untuk menghasilkan produksi beras berkualitas.
Agung mengungkapkan bahwa para petani membutuhkan bibit, pupuk, pengairan, sarana-prasarana produksi pertanian, semprotan yang memadai, yang semua ini membutuhkan sumber daya dan biaya yang tidak sedikit.
“Sayangnya negara mengabaikan peran tersebut banyak petani yang gigit jari setelah panen, karena terjadinya harga gabah yang sangat murah gitu, biaya produksi beras yang tinggi, tidak seimbang dengan hasil penjualan gabah,” tuturnya.
Ketiga, ketidakseriusan negara dalam memberantas mafia pangan. “Jika dulu modus mafia pangan mengoplos beras bulog, kini mengganti karung beras dengan merek lokal premium,” lanjutnya.
Keempat, belum adanya upaya terstruktur dan terukur dalam melakukan mitigasi krisis pangan. “Sejauh ini pemerintah hanya mengandalkan impor beras untuk memenuhi stok pangan di dalam negeri, seakan tidak mau ruwet dan ribet untuk mengurusi pertanian,” sambungnya.
Kelima, masalah pokok pangan sejati bermula dari penerapan sistem kapitalisme liberal. “Sistem yang membuat negeri ini harus tunduk dan terikat pada liberalisasi pasar dan perdagangan bebas,” tuturnya.
Ia juga membeberkan keberadaan mafia pangan merupakan dampak kebebasan kepemilikan lahan tanpa batas.
“Akibatnya penguasaan lahan terpusat pada siapa saja yang bermodal besar, petani harus menghadapi korporasi yang menguasai pertanian dari sektor hulu hingga hilir, selain itu perjanjian internasional membuat kebijakan impor makin tidak terkendali,” tandasnya.[] Setiyawan Dwi