Mediaumat.id – Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyebutkan bentrok Rempang akibat arah pembangunan Indonesia sejak Orde Baru yang terus mengedapankan pola-pola kapitalisme.
“(Itu akibat) pengembangan arah pembangunan kita sejak Orde Baru yang terus mengedepankan pola-pola kapitalisme,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (11/9/2023).
Ungkapan ini ia lontarkan sebagai respons atas makin masifnya konflik agraria yang terjadi dan disertai insiden bentrokan antar pihak berkepentingan, termasuk bentrokan besar yang melibatkan tim Gabungan TNI-Polri dan warga Pulau Rempang di Jembatan IV Barelang, Batam, pecah pada Kamis (7/9/2023) lalu.
Sebagaimana dikabarkan, konflik ini berawal dari rencana pengembangan kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesian’s Economic Growth dengan konsep “Green and Sustainable City” di daerah itu.
Dirangkum dari Antara, pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat usai Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke Cina pada akhir Juli lalu. Terlebih lagi adanya komitmen investasi dari perusahaan asal Cina, Xin Yi International Investment Limited.
Disampaikan juga, pembangunan Rempang Eco City dilakukan di atas lahan seluas 17 ribu hektare. Proyek ini ditargetkan akan menarik investasi hingga Rp381 triliun pada 2080.
Lantas melalui Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional, pemerintah telah memberikan hak pengelolaan dan pengembangan lahan Pulau Rempang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata.
Dengan kata lain, sambung Agung, pola kapitalisme cenderung memberikan ruang yang sangat besar kepada investor terlebih kalangan oligarki untuk menguasai suatu lahan.
Sehingga tak heran terhadap banyaknya pihak yang memiliki akses kuat kepada penentu kebijakan, termasuk PT MEG yang kata Agung, sudah puluhan tahun memegang hak pengelolaan lahan.
“Tentu bagi mereka yang memiliki modal, memiliki akses kepada penentu kebijakan, sehingga mereka memiliki semacam hak guna usaha terhadap tanah,” terangnya, seputar hak pengelolaan lahan.
Namun celakanya, di saat akan mengeksekusi lahan, ternyata sudah ada masyarakat yang menempati kawasan Pulau Rempang tersebut. “Inilah yang sering menimbulkan konflik,” sebut Agung.
Makanya, ia pun mengimbau pemerintah agar mempertimbangkan kembali kebijakan itu. “Harus dirombak lagi (sistem) tata kelola kita terkait dengan sumber daya, sekali lagi harus diubah betul polanya,” tegasnya.
Sebab, meski ada tawaran lebih mengenai ganti rugi, masyarakat di sana ia nilai bakal merasa kebingungan berkenaan dengan keberlanjutan penghidupan mereka.
Solusi Islam
“Kalau dalam pandangan Islam kan clear ya,” lanjutnya, tentang pemerintah yang harusnya memikirkan sistem agraria berikut distribusi berkeadilan.
Di dalam Islam, kata Agung, tanah atau lahan yang tidak dikelola dengan baik dalam kurun 3 tahun, diambil negara untuk diserahkan kepada pihak yang sanggup.
Artinya, enggak bakalan terjadi sebagaimana konflik di Rempang. “Ini sudah puluhan tahun dikelola (masyarakat) terus kemudian tiba-tiba mau dikelola (oleh investor), diusirlah (masyarakat) dengan bahasa relokasi,” kritiknya.
Bahkan ia menyayangkan pernyataan seorang Menkopolhukam yang mengatakan bahwa tindakan yang diambil pemerintah bukanlah penggusuran tetapi pengosongan. “Ini kan bahasa-bahasa yang menyakitkan ribuan orang, yang seperti itu,” ujarnya.
Maka penting menurut Agung, agar pemerintah memperhatikan serta memikirkan kembali ketentuan-ketentuan yang ditawarkan di dalam sistem Islam.
“Ini hukum-hukum Islam tentang ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati), kepemilikan umum, saya pikir ini selayaknya dipikirkan dan diterapkan sehingga kezaliman-kezaliman yang demikian tidak terjadi lagi,” pungkasnya.[] Zainul Krian