Mediaumat.info – Harga beras yang terus naik setiap tahunnya bahkan pada 2024 ini kenaikannya tertinggi dalam sejarah Republik Indonesia, menurut Direktur Justice Monitor Agung Wisnuwardana karena penguasaan negara terhadap pasokan pangan sangat minim dan mayoritas berada di tangan pelaku pasar.
“Penguasaan negara terhadap pasokan pangan memang sangat minim yakni hanya 10% saja, sebaliknya mayoritas pasokan pangan berada di tangan pelaku pasar yakni korporasi atau pedagang besar,” ujarnya dalam video Harga Beras Terus Meroket, Solusinya Impor 3.000.000 Ton Beras? di kanal YouTube Justice Monitor, Jumat (23/2/2024).
Sehingga, lanjutnya, korporasi atau pedagang besar sangat mudah memainkan harga untuk keuntungan mereka sendiri, ditambah kelemahan negara dalam memutus rantai tata agraria yang panjang dan menyimpang.
Padahal, jelas Agung, negara sebagai pengurus rakyat bertanggung jawab setiap kebijakannya, wajib berorientasi untuk melayani kepentingan rakyat termasuk terhadap konsumen dan produsen.
Agung pun mengutip sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwasanya imam itu adalah pengurus rakyat (ra’in) dan bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.
“Sebagaimana pengurus urusan rakyat, negara wajib menerapkan kebijakan yang berpihak pada tani sedangkan konsumen dapat memperoleh harga pangan yang terjangkau,” bebernya.
Jadi, kata Agung, sama-sama diurus. Di satu sisi kebijakannya betul-betul memberikan keberpihakan pada petani. “Di sisi lain harga harus bisa dijaga dalam kondisi yang terjangkau,” bebernya.
Kelalaian
Menurut Agung, mahalnya harga beras ini sebagai bukti kelalaian negara dalan mengurusi pangan rakyat.
“Harga beras lebih dari setahun merangkak naik meroket ini adalah indikasi kelalaian dan ketidakseriusan negara mengurusi pangan rakyat,” tuturnya.
Negara, dinilai Agung, tidak bisa mengatasi kenaikan harga yang melonjak dalam waktu sepanjang tahun yang membuat rakyat sulit untuk mendapatkannya.
“Kelalaian ini terjadi pada berbagai lini, baik produksi maupun distribusi yang akhirnya memicu fluktuasi harga, dari sisi produksi negara lalai untuk menggenjot produksi dalam rangka memenuhi kekurangan pasokan baik untuk konsumsi maupun untuk cadangan untuk pemerintah,” ungkapnya.
Kelalaian ini terjadi, menurut Agung, karena dibiarkannya alih fungsi lahan pertanian secara masif. “Kita tahu bahwa alih fungsi lahan pertanian ini memang betul-betul luar biasa di berbagai lini,” tuturnya.
Bahkan, lanjutnya, konferensinya berjalan atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) yang kebermanfaatannya sangat minim bagi rakyat, dan negara juga tidak serius mengatasi kesulitan petani untuk mendapatkan sarana produksi pertanian (saprotan) atau sarana produksi tani (saprodi) seperti pupuk atau benih dan sebagainya.
“Yang terjadi justru anggaran untuk subsidi pupuk semakin dikurangi begitu pula pemerintah gagal memitigasi perubahan cuaca yang berakibat gagal panen di mana-mana,” ujarnya.
Sedangkan dari sisi distribusi, tuturnya, sangat jelas terlihat kelalaian negara, hingga terjadi lonjakan harga yang tidak wajar sekalipun pasokan beras yang dipenuhi melalui impor.
“Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga agar terbentuk harga secara wajar,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat