Mediaumat.info – Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyatakan pemerintah semakin otoriter kepada lembaga-lembaga negara maupun kelompok-kelompok kritis.
“Dan ini semua, kalau kita baca secara luas, ini membangun yang semakin otoriter kepada lembaga-lembaga negara kemudian otoriter kepada kelompok-kelompok kritis gitu, dan ini tentu menjadi sebuah persoalan tersendiri ke depan buat kebebasan berpendapat,” ujarnya dalam Diskusi Online: Revisi UU (Kementrian, Polri, TNI, Penyiaran, MK, Wantimpres) di Akhir Jabatan, Ada Apa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (14/7/2024).
Di tambah lagi, lanjutnya, dengan kekuatan populis Jokowi yang memiliki profile rating di atas 75 persen di hati rakyat. “Jadi akan membangun Apa yang disebut dengan kepemimpinan populis otoriter, jadi dia populis di hadapan rakyat tapi otoriter kepada lembaga-lembaga dan kepada kelompok-kelompok kritis dan mengooptuasi lembaga-lembaga pemerintahan lembaga-lembaga resmi negara, ini sangat berbahaya sekali tentu untuk negeri ini ke depan,” tuturnya.
Ungkapan Agung tersebut merujuk pada beberapa poin salah satunya terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Polri yang akan memberikan perluasan kewenangan, dan ini dinilai tidak nyambung dengan persoalan Polri saat ini.
“Bulan Juni yang lalu itu ada satu hal persoalan Polri, kalau kita runut dari yang terbaru misalnya dengan kasus Vina Cirebon, kemudian terkait dengan kasus Padang ini kan semua sangat terkait dengan integritas di tubuh Polri sendiri gitu. Artinya, problem integritas di tubuh Polri, kok kemudian diperluas kewenangannya ini kan enggak nyambung antara masalah dengan solusinya,” ungkap Agung.
Kemudian, lanjutnya, kalau dilihat dari sisi survei Indeks Persepsi Korupsi Polisi yang dikeluarkan oleh indeks Mundi pada 16 Mei 2024, itu angkanya 7,56. Ini tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
“Artinya, ada problem-problem korupsi juga di tubuh Polri kok kemudian solusinya dengan memberikan kewenangan diperluas?” jelasnya.
Sehingga dugaannya, bahwa ini semacam hadiah kepada Polri yang tentu buat kepentingan penguasa. “Dia (rezim) bisa melakukan take (mengambil) kepada polisi, istilahnya undang-undang itu semacam give (memberi), sementara kemudian penguasa akan bisa take apa yang diinginkan kepada tubuh Polri,” jelasnya.
Indikasi lainnya, jelas Agung, terkait dengan RUU Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memberikam batas usia pensiun 60 sampai 65 tahun, kemudian perluasan jabatan sipil untuk TNI aktif, kemudian perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) di pasal 7 ayat 2 dan 3.
“Pasal-pasal krusial ini seperti enggak nyambung dengan problem-problem utama dari TNI itu sendiri terkait dengan kedaulatan negara misalnya terkait dengan konflik Laut Cina Selatan, terkait dengan gangguan-gangguan keamanan dari luar negeri misalnya ya itu enggak nyambung sekali dengan konteks ini, karena RUU TNI ini akhirnya memberikan ruang kepada TNI untuk masuk lebih jauh pada ranah-ranah ruang-ruang sipil dan ini kan yang mengkhawatirkan banyak kalangan akan muncul apa dengan dwi fungsi ABRI ini yang dikhawatirkan,” ungkapnya.
Kemudian, tuturnya, Operasi militer Selain Perang (OMSP) yang diperluas dan ini menjadi titik kritis terhadap TNI yang akhirnya diseret-seret terlibat dalam kegiatan-kegiatan sipil misalnya pengamanan perusahaan tambang termasuk pengamanan kejaksaan.
“Beberapa waktu kemarin gitu itu kan sebenarnya bukan ranahnya TNI itu bukan ranahnya TNI dan itu ilegal gitu dan melalui apa perluasan OMSP ini, berpeluang TNI itu yang tadinya ilegal untuk beberapa kegiatan itu bisa menjadi legal ini yang menjadi titik kritis dan ini kan akhirnya enggak nyambung dengan persoalan utama kedaulatan negara yang harus menjadi domain dari TNI gitu,” ujarnya.
Sehingga, menurutnya, ini juga semacam give yang akan diberikan kepada TNI entah iu memberikan jasa atau tidak, ini berpeluang ke depan tentu akan mudah di-take oleh penguasa demi kepentingan-pentingan yang tentu akan menekan hak-hak masyarakat dan juga politik kekuasaan dan alat politik kekuasaan.
“Ini yang sangat dikhawatirkan,” tuturnya.
Lalu, jelasnya, terkait RUU Penyiaran yang draf-drafnya mengalami perubahan-perubahan dalam prosesnya, di beberapa titik kritis dari RUU Penyiaran itu terkait dengan pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
“Saya pikir kita sudah pahami bersama bahwa selama ini jurnalistik investigatif ini adalah bagian penting dari jurnalistik yang selama ini memberikan peluang munculnya tekanan netizen termasuk juga pendalaman yang lebih jauh sehingga banyak kasus yang kemudian bisa terbongkar oleh jurnalistik investigatif,” tegasnya.
Kemudian, tuturnya, ada pelarangan atau permintaan verifikasi kepada platform digital seperti konten kreator youtuber atau tiktoker untuk memverifikasi kontennya kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Sejauh mana KPI akan bisa memverifikasi itu semua ini kan menjadi sebuah pertanyaan-pertanyaan menggelitik yang bisa kita baca, nah akhirnya RUU penyiaran ini cenderung akan menjadi alat otoritarian oleh pihak kekuasaan kepada lembaga-lembaga penyiaran termasuk juga kepada konten-konten kreator nah ini titik kritis yang luar biasa,” jelasnya.
Dan terbaru, tuturnya, terkait dengan RUU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dikhawatirkan banyak pihak akan ada ruang munculnya Jokowi sebagai penasihat Prabowo.
“Sebagai ruang untuk memberikan posisi strategis kepada Presiden Jokowi pasca-lengsernya nanti,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat