IJM: Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Tidak Berfaedah
Mediaumat.id – Wacana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) oleh pemerintah, dinilai Aktivis Indonesian Justice Monitor (IJM) Luthfi Afandi, S.H., M.H. sebagai agenda yang tidak bermanfaat bagi masyarakat.
“Ini tentu memang sangat tidak perlu, kalau bahasa anak-anak sekarang unfaedah,” ujarnya dalam Kabar Petang: Pembentukan Wankamnas Alarm Menguatnya Represi Negara? di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (24/9/2022).
Pasalnya selain pernah ditolak oleh publik, pembentukan DKN atau bisa disebut Wankamnas, sama sekali tidak memiliki urgensi di tengah masyarakat yang sebenarnya, menurut Luthfi, lebih membutuhkan jaminan harga-harga kebutuhan pokok yang murah dan terjangkau.
Dengan kata lain, Wankamnas tidak representatif terhadap kepentingan masyarakat. “Apa kepentingannya buat publik? Apa keuntungan buat mereka? Apakah ketika tidak dibentuk Wankamnas itu masyarakat jadi kelaparan? Apakah ketika kemudian tidak dibentuk Wankamnas masyarakat jadi menderita? Kan tidak,” tandasnya.
Justru ia menduga, dengan adanya lembaga pemerintah tersebut, ketakutan masyarakat malah bertambah.
Tengoklah sebagaimana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga keamanan internal Pemerintah Indonesia yang didirikan pada tanggal 10 Oktober 1965 di era orde Baru, Wankamnas pun ia khawatirkan demikian.
Kala itu, Kopkamtib mempunyai kewenangan yang luar biasa. Di antaranya, melarang aksi unjuk rasa, penyensoran media-media massa, lebih-lebih melakukan penangkapan terhadap tokoh politik yang dianggap bermasalah.
“Tentu kita tidak ingin zaman itu kembali lagi ketika kemudian masyarakat betul-betul diawasi secara militeristik,” terangnya, seraya kembali menegaskan bahwa Wankamnas sangat tidak dibutuhkan sehingga harus ditolak keberadaannya.
Sarat Kepentingan Politik
Lagipula dari awal wacana pembentukan DKN, kata Luthfi, sarat kepentingan politik daripada motif kemaslahatan nasional. “Kalau untuk kepentingan bangsa untuk kepentingan negara kepentingan rakyat, ini kok kenapa banyak pihak yang menolak dari berbagai macam elemen masyarakat?” herannya.
Penting diingat, DKN atau Wankamnas sebelumnya sudah tercantum dalam RUU Keamanan Nasional (Kamnas). Meski telah melewati perjalanan panjang, draf RUU Kamnas yang berisi berisi 7 bab dan 60 pasal dan pertama kali diajukan ke DPR pada tahun 2005, masih menuai kontroversi baik di kalangan masyarakat maupun di dalam DPR hingga saat ini.
Seperti diketahui, dari kalangan masyarakat hampir semua menyatakan keberatannya dan menolak RUU tersebut dibahas.
Sebabnya, jelas Lutfhi, ditengarai bakal mengancam kebebasan berekspresi dalam hal menyampaikan pendapat atau gagasan misalnya.
Selain itu usulan pembentukan Wankamnas melalui Perpres tersebut, menurut Lutfhi, juga dalam rangka menjaga keberlangsungan rezim dan oligarki, setidaknya sampai 2024.
“Paling tidak sampai kemudian di 2024 atau siapapun nanti yang kemudian yang berkuasa kelak yang tentu dalam kontrol oligarki,” jelasnya.
Sebagai gambaran, sambungnya, secara kepala daerah betapa situasi saat ini dikhawatirkan oleh pihak-pihak tertentu.
Artinya, menjelang pemilu serentak tahun 2024, banyak kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan akan digantikan plt. atau pelaksana tugas yang penunjukannya menjadi wewenang pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri.
“Akan lebih dikhawatirkan lagi ketika kemudian pelaksana tugas yang ditunjuk itu, itu kemudian berasal dari unsur TNI dan Polri,” lanjutnya.
Maksudnya, dengan melihat tahun politik berikut banyaknya calon yang menjajakan diri, ia merasa khawatir kebijakan pemerintah yang dinilai zalim, tidak pro rakyat bakal ditolak oleh publik sedemikian rupa.
Belum lagi kasus-kasus tertentu lainnya. “Di Papua misalnya, masyarakat digerakkan untuk mendukung gubernur yang sudah tersangka kasus korupsi,” paparnya, menyinggung penetapan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Tidak Pro Rakyat
Gambaran lain, tambah Lutfhi, ia juga melihat kebijakan-kebijakan pemerintah dinilai banyak pihak justru tidak pro rakyat. “Terakhir, yakni ketika pemerintah menaikkan harga BBM, itu kan kemudian ditolak luar biasa,” ungkapnya.
Sekira itu, Luthfi menilai, pemerintah lebih mendorong untuk segera mengegolkan agenda pembentukan Wankamnas.
Padahal, saat ini sudah ada lembaga negara di bawah koordinasi Kemenkopolhukam yang memiliki tugas dan fungsi kurang lebih sama.
Ada Kementerian Pertahanan, TNI, Polri, Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), maupun lembaga non-struktural Kantor Staf Presiden (KSP) yang bertugas memberikan masukan dan nasihat, termasuk perkara-perkara strategis, perkara-perkara yang menyangkut keamanan nasional.
Di saat bersamaan, pembentukan lembaga semacam Wankamnas bisa dipastikan bakal terjadi pemborosan uang negara. “Kalau ada pembentukan lembaga itu pasti ada pemborosan uang negara,” cetusnya, sembari memastikan pengangkatan para pejabat ataupun staf yang dibutuhkan di dalamnya memerlukan miliaran rupiah, notabene uang rakyat.
Apalagi dilihat dari konteks hukum yang menurut Lutfhi, meski melalui perpres, pembentukan Wankamnas tidak memiliki landasan hukum kuat.
Diketahui, justru sudah ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang mengamanatkan pembentukan Dewan Pertahanan Nasional.
Dengan demikian, kata Lutfhi yang lagi-lagi mengkhawatirkan, Wankamnas nantinya hanya menjadi kepanjangan tangan kekuasaan untuk membungkam bahkan bisa melakukan langkah-langkah represif terhadap masyarakat. “Ini memang bukan hanya unfaedah tetapi kemudian juga muncul problematika yang baru,” pungkasnya.[] Zainul Krian