IJM: Liberalisasi Sektor Migas Sebabkan BBM Mahal

 IJM: Liberalisasi Sektor Migas Sebabkan BBM Mahal

Mediaumat.id – Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai penyebab harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi mahal adalah liberalisasi sektor migas.

“Liberalisasi sektor migas menyebabkan harga BBM menjadi lebih mahal dari yang seharusnya,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jum’at (27/5/2022).

Menurutnya, dengan liberalisasi sektor energi, swasta diberikan peluang yang sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk terlibat aktif dalam mengelola sektor energi. Karena itu, harga yang menjadi acuan penetapan kontrak mengacu pada harga minyak internasional yang sangat fluktuatif akibat perubahan supply dan demand (baik untuk konsumsi, cadangan, dan spekulasi).

Padahal, lanjut Agung, biaya produksi minyak mentah di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak mentah yang berlaku saat ini. Menurut Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Taslim Z. Yunus ‘biaya produksi minyak dan gas bumi (migas) pada kuartal I 2021 sebesar US$ 11,88 per barel (28/4/2021)’.

Sebelumnya (2/4/2020), ungkap Agung, Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman menyatakan “biaya produksi minyak mentah di Indonesia yang paling tinggi pada US$26 per barel sedangkan ongkos produksi yang paling efisien hanya US$4 per barel”.

“Jika harga saat ini mencapai 100 dollar per barrel dengan biaya produksi 12 dollar per barrel maka keuntungan Kontraktor Kerjasama mencapai 78 dollar atau Rp1,1 juta per barrel. Alhasil, jika seluruh produksi minyak mentah domestik dikelola oleh Pertamina dan pengelolaan BBM dihitung berdasarkan biaya produksinya, maka harga BBM akan jauh lebih rendah,” ungkap Agung.

Namun, menurutnya, hal tersebut sulit terjadi selama pemerintah masih melakukan liberalisasi sektor migas dengan mendorong swasta untuk terlibat dalam mengelola sektor migas, menyamakan posisi Pertamina dengan kontraktor swasta, dan memandang minyak mentah sebagai komoditas bisnis.

“Kondisi tersebut sangat kontras dengan ajaran Islam yang mengkategorikan sektor pertambangan yang melimpah merupakan miliki umum, sehingga wajib dikelola oleh negara untuk sebesar-sebesarnya digunakan untuk publik dan haram diserahkan kepada pihak swasta,” pungkasnya. [] Ade Sunandar

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *