Mediaumat.news – Menanggapi Disertasi Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi pada Ujian Promosi Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis, 5 Agustus 2021, Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai ada aroma adu domba dan pecah belah yang dikemas dalam konteks ilmiah.
“Disertasi ini, saya baca sebagai narasi pecah belah yang dikemas dalam konteks ilmiah,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Jumat (6/8/2021).
Menurutnya, narasi pecah belah antar umat Islam begitu terasa dalam disertasi ini. “Umat Islam dihadap-hadapkan selayaknya musuh dengan label islamis vs nasionalis, radikal vs moderat,” ujarnya.
Agung menilai narasi inilah yang dulu digulirkan penjajah Belanda di negeri ini. Dan saat ini dikemas ulang para penjajah kapitalis pada negeri-negeri Islam.
“Kesimpulan ke 2 dari disertasi Zainut Tauhid ini semakin mengaitkan narasi pecah belah umat Islam,” ungkapnya.
Menurutnya, Zainut Tauhid seperti membuat label Kelompok Islamis itu radikal dan organisasi Islam arus utama (baca NU dan Muhammadiyah) sebagai moderat. Kemudian saling dihadap-hadapkan.
“Dan sungguh aneh, saat definisi radikalisme tidak jelas sampai hari ini kemudian membuat label radikal atau moderat pada kelompok tertentu,” ujarnya.
Apalagi kemudian memberikan saran agar pemerintah melalui kemenag RI mencetak duta moderasi beragama di ruang publik digital untuk membendung dominasi gerakan-gerakan radikal, menurut Agung, ini saran yang sungguh sangat miris, menyarankan pemerintah memfasilitasi permusuhan antar warga bangsa. “Menurut saya ini saran “preman” yang dibugkus ilmiah,” tegasnya.
Agung mengatakan, Zainut Tauhid ini adalah pejabat publik (Wamentri Agama) yang seharusnya membuat narasi ilmiah yang lebih humble dan memperkuat persatuan. “Bukan malah menyuruh warga bangsa untuk saling berkelahi,” ujarnya.
Ia melihat, banyak pihak yang mengkritisi beberapa produk hukum, kelembagaan maupun kebijakan politik yang dinilai sebagai wujud negara kekuasaan (machstaat), yang melahirkan kekuasaan yang otoriter.
“Misalnya adanya UU ITE yang cenderung membangun kekuasaan anti kritik. UU Ormas, menjadikan rezim penguasa melebihi kekuasan pengadilan. Ormas dapat dibubarkan oleh rezim penguasa tanpa keputusan pengadilan. Inilah rezim negara kekuasaan,” bebernya.
“Aspek kelembagaan BPIP juga banyak kritik karena rezim penguasa-lah yang menjadi penafsir tunggal Pancasila. Hal ini bisa menjadikan penguasa bertindak otoriter terhadap pihak yang ditafsir anti Pancasila,” imbuhnya.
Agung mengkritik, pengarusutamaan moderasi beragama yang cenderung akan memecah belah bangsa.
“Jadi, kalau saudara Zainut Tauhid menyetujui sikap rezim seperti di atas berarti dia pendukung negara kekuasaan dan rezim otoriter, yang menjadikan hukum bukan untuk keadilan tetapi untuk melegitimasi kekuasaan dan sikap otoriter penguasa. Juga mendukung pecah belah warga bangsa,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it