Idul Fitri di India, Muslim Hadapi Penindasan dan Penghapusan Identitas

Mediaumat.info – Sara Ather, seorang arsitek dan penulis yang tinggal di India dan Jerman mengungkapkan, di Hari Raya Idul Fitri tahun ini, umat Islam di India menghadapi penindasan dan upaya penghapusan identitas budaya mereka.

“Idul Fitri kali ini, umat Islam di India menghadapi penindasan dan penghapusan identitas budaya mereka,” tulisnya dalam sebuah artikel, yang diterima media-umat.info, Ahad (14/4/2024).

Maknanya, perayaan keagamaan penting seperti Ramadhan dan Idul Fitri, cenderung ditekan secara publik dan disertai dengan kekerasan diskriminatif oleh komunitas Hindu.

Sebutlah di antaranya peristiwa penyerangan atas mahasiswa Muslim oleh massa Hindu saat sedang beribadah di kampus. Begitu juga larangan terhadap tempat-tempat umum untuk digunakan kegiatan keagamaan.

Pun dengan tradisi Muslim yang dihapus dari kalender resmi, serta perayaan keagamaan mereka yang juga dihentikan.

“Identitas Hindu semakin diperkuat dan identitas Muslim dianggap tidak sesuai dengan narasi Hindu nasional yang baru,” sambungnya, terkait apa yang disebut sebagai serangan terhadap sejarah dan kehidupan kaum Muslim di India tersebut.

Nasionalisme Hindu

Dalam kesadaran masyarakat, kata Sara lebih lanjut, naiknya kekuasaan Perdana Menteri India Narendra Modi telah melampaui politik, dan dibayangkan sebagai pergantian zaman atau kembalinya zaman keemasan pemerintahan Hindu yang ditakdirkan untuk tiba.

Sentimen ini tercermin dalam bagaimana nasionalisme Hindu yang saat ini banyak diinvestasikan dalam menciptakan garis waktu baru untuk menandai dimulainya zaman yang telah diantisipasi. Dalam transformasi ini, kalender nasional ‘Hinduisasi’ memainkan peran penting.

“Di bawah rezim Hindutva, kita secara bersamaan menempati dua garis waktu, masa kini terus-menerus berada dalam kompromi untuk mengakomodasi nostalgia mitos yang dikonstruksi secara politik,” urainya.

Bagi Muslim di India, sambung Sara, serangan yang ditargetkan terhadap identitas budaya mereka tercermin dalam cara menata ulang ruang publik dan cara memahami waktu dalam ruang tersebut.

Maka, seperti yang ia paparkan sebelumnya, di Ramadhan kali ini, kerap terjadi kekerasan seperti lima mahasiswa Universitas Gujarat terluka setelah massa Hindu menyerang, memukuli mereka dengan tongkat saat mereka sedang melaksanakan shalat di kampus.

Tak ayal, universitas pun terkesan menjadikannya sebagai legitimasi untuk kemudian mengeluarkan pedoman baru yang meminta mahasiswanya untuk tidak menggunakan ruang publik untuk tujuan keagamaan.

Hal ini, menurut Sara, mengikuti pola yang menjadikan umat Islam sasaran karena menjalankan ibadah mereka. Bahkan di ruang pribadi sekalipun, seperti di Uttar Pradesh pada tahun lalu, polisi menindak ratusan orang yang shalat di jalan-jalan Kanpur selama Idul Fitri.

Belum lagi dampak mengerikan di Purola, Uttarakhand. Kala itu, kampanye kelompok Hindu mengusir umat Islam dari rumah-rumah mereka. Sehingga warga pun memutuskan tidak mengadakan shalat Idul Fitri karena takut akan eskalasi lanjutan.

Kata Sara, nasionalisme Hindu yang menyatu dengan budaya di sana menjadi kekuatan transformatif membentuk identitas nasional dan budaya yang homogen.

Terlebih melalui kampanye ikonoklastik yang dilancarkan untuk melawan penanda sejarah budaya Muslim India yang rentan.

“Festival dan perayaan budaya adalah cara utama untuk melestarikan kontinum antara zaman dahulu dan sekarang,” ujarnya, yang berarti dalam kondisi saat ini, makna festival juga mengalami perubahan bagi komunitas Hindu, membentuk kembali identitas kolektif dan memperkuat tatanan simbolik baru.

Dengan kata lain, umat menyaksikan rekayasa ulang tradisi secara total dan mendefinisikan ulang ketaatan beragama sebagai sebuah sentimen yang tidak dapat dipisahkan dari kebencian anti-Muslim.

Makin celaka, kata Sara menambahkan, terdapat syarat yang ditetapkan untuk menjadi seorang Hindu di India.

Yakni tidak hanya menunjukkan rasa cinta terhadap komunitasnya sendiri, tetapi juga menunjukkan rasa jijik secara terbuka terhadap praktik budaya umat Islam, yang dianggap asing, tidak murni, dan tidak sesuai dengan budaya masyarakat dan kehidupan publik di India.

Tengoklah dalam beberapa tahun terakhir. Perayaan hari raya Hindu telah memperluas kehadiran mereka di ruang publik, yang secara nyata memengaruhi kehidupan kota dengan menentukan apa yang harus terbuka atau tertutup untuk memfasilitasi pergerakan prosesi.

Di sisi lain, kekerasan yang sering menyertai peristiwa-peristiwa tersebut juga telah mengakibatkan kerusakan besar pada properti umat Islam, semisal masjid atau tempat suci, serta aspek warisan budaya Islam lainnya.

Karenanya, kembali ia memaparkan, perpecahan yang nyata kini sedang terjadi di India. “Hal ini bukan hanya merupakan upaya untuk melakukan diskriminasi terhadap umat Islam, namun juga untuk menjadikan ekspresi budaya Muslim sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan narasi umum mengenai negara Hindu yang baru muncul,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: