Pengamat Ekonomi dan Politik, Dr. Ichsanudin Noorsy, mempertanyakan dasar penetapan harga 51 % saham Freeport. Jika bisnis pertambangan, menurutnya seharusnya yang dijadikan dasar untuk menaksir harga adalah potensi cadangan deposit tambang yang dimiliki PT. Freeport.
“Jika yang menjadi dasar penetapan harga dari pembelian saham adalah kinerja manajemen dan keuangan PT. FI, itu tidak relevan. Itu itung itungan yang sudah menjadi masa lalu” ungkapnya.
Dr. Noorsy menjelaskan (dengan mengutip data-data yang ditampilkan pada layar), jika pun yang menjadi patokan adalah kinerja perseroan, baik aspek keuangan maupun manajemen, terbukti laporan keuangan PTFI mengalami trend penurunan. Artinya, kerugian PTFI yang berujung tidak dibagikannya Deviden perseroan selama dua tahun hingga tahun 2020, telah mampu dideteksi sejak dini dan dijadikan pertimbangan penting dalam mengambil keputusan pembelian saham termasuk nilai harga saham yang harus dibayar.
Menurutnya nilai borong saham Freeport oleh Inalum ini terlampau mahal jika dibandingkan dengan nilai harga saham Indocopper Invesrana sebesar 9,36% yang dijual kembali ke FCX sebesar US$ 400 juta.
“Kenapa Pemerintah melalui PT Inalum musti membayar USD 3,85 miliar hanya untuk porsi saham sebesar 51,3 % ? Bukankah ini harga yang terlampau mahal ?”
Dr. Noorsy menegaskan, sederhananya jika acuan nilai harga saham yang diborong Pemerintah harganya setara dengan nilai harga saham PT. Indocooper Investama yang memiliki 9,36 % saham yang dijual kembali ke FCX sebesar US$ 400 juta, maka seharusnya Pemerintah dengan merogoh kocek USD 3,85 miliar dapat menguasai saham PTFI sebesar kurang lebih 103 %, dan bukannya hanya 51,3 %. Lantas, siapa yang bertanggungjawab terhadap nilai harga saham yang terlampau mahal ini ?
Karena itu, Noorsy menduga ada skandal yang berbau sangat amis, bahkan aroma amisnya lebih menyengat ketimbang kasus korupsi bank Century. Pernyataan ini disampaikan Noorsy pada diskusi Islamic Lawyers Forum (ILF) yang diselenggarakan LBH PELITA UMAT (27/1).
Selain Noorsy, hadir juga Nara sumber lain : Ir. Marwan Batubara (Direktur IRESS), Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H. (Akademisi, Dosen Untar), Salamudin Daeng (Pengamat Ekonomi), KH. Umar Ash Shidiq (PP Daarus Tsaqafah) dan Chandra Purna Irawan, S.H. M.H. (Sekjen LBH PELITA UMAT).
Diskusi ILF edisi ke-7 ini dipandu Presiden ILF Ahmad Khozinudin, OPENING oleh Wahyudi Al Maroki selaku Pembina LBH PELITA UMAT, mengambil tema ‘Divestasi Freeport, NKRI mati harga?’.[]
Sumber: lbhpelitaumat.com