I Can’t Breathe!

Oleh: Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD)

Judul di atas adalah kata-kata yang disampaikan George Floyd kepada polisi yang menekan lehernya. Kematian Floyd memicu kemarahan besar khususnya warga kulit hitam di AS. Floyd meninggal pada 25/5 dalam tahanan polisi, dalam posisi diborgol dan dijepit ke tanah, di Minneapolis. Ini telah memicu gelombang protes di seluruh negeri.

Banyak pria berkulit hitam yang telah dibunuh oleh polisi kulit putih, dan protes besar sebagai reaksi atas kematian Floyd hanyalah suatu puncak gunung es. Sebagai studi kasus, sebuah laporan The Guardian tanggal 9 April 2015 menunjukkan rekaman video Walter Scott yang jatuh ke lantai setelah ditembak 8 kali ke arahnya oleh Petugas Michael Slager dari jarak dekat. Saat dia terbaring sekarat di tanah, dia diperintahkan untuk meletakkan kedua tangannya ke belakang punggungnya dan kemudian diborgol; dan saat dia tengah sekarat seorang polisi kedua, Clarence Habersham, mulai terlihat dan The Guardian mengungkapkan bahwa dia juga terlibat dalam tindak kekerasan terhadap orang-orang kulit hitam. Habersham diduga telah menendang wajah Sheldon Williams saat dia diborgol, “sehingga meninggalkan bekas patah tulang di wajahnya setelah dia diserang”. Pada tanggal 13 April 2015, The Guardian menunjukkan video lain dari pembunuh Walter Scott, namun kali ini, dia terlibat dalam penangkapan seorang pria kulit hitam yang berbeda, Julius Wilson, yang telah mengajukan tindakan hukum terhadap aparat yang terlibat, dan mengklaim bahwa Slager diduga “menembakkan Tase NCPD nya ke belakang tubuh Wilson “meskipun” Wilson sudah sepenuhnya bekerja sama”.

Teror terhadap orang-orang kulit hitam di Amerika sudah meluas dan kasus-kasus tindakan polisi yang secara brutal memukuli, menyetrum dan menembak orang-orang kulit hitam tidak bersenjata telah menyebabkan ketakutan yang terus-menerus dan kemarahan, yang telah mendidih sepanjang tahun lalu pada apa yang disebut sebagai Kerusuhan Ferguson yang mulai terjadi setelah seorang pria kulit hitam lain ditembak oleh polisi di kota Ferguson, di St Louis County, pada tanggal 9 Agustus 2014. Hakim memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan atas pembunuhan itu. Dalam kasus-kasus pidana hakim Amerika seharusnya menawarkan terdakwa untuk diadili oleh 12 dari rekan-rekan hakim lainnya untuk menghindari diskriminasi. Konsep ini tidak berlaku bagi orang orang kulit hitam di Amerika, di mana hakim secara konsisten melucuti hak-hak orang kulit hitam dalam kasus ini di mana hukuman mati diterapkan terhadap orang berkulit hitam jika dia terbukti bersalah. The Guardian melaporkan pada tanggal 13 April atas kasus Andre Cole, juga dari St Louis county, yang akan dieksekusi pada hari itu setelah dinyatakan bersalah oleh hakim yang membebaskan 3 orang hakim hitam berkulit hitam tanpa alasan yang jelas. “Kasus ini menyoroti perlakuan berbeda terhadap orang Afrika Amerika dalam sistem peradilan pidana. Kasus Ferguson mengungkap perlakuan tidak adil oleh polisi, dan penundaan eksekusi terhadap Andre Cole memperlihatkan perbedaan yang sama dari jaksa dan pengadilan,” kata Elston McCowan dari NAACP Cabang Missouri.

Meskipun dilakukan perbaikan terhadap beberapa aturan menyusul aktivistas kaum kulit hitam pada tahun 1960-an, prasangka rasial masih tetap hidup di Amerika hingga saat ini, yang banyak terjadi selama masa terjadinya pembunuhan masal terhadap seseorang tanda dasar hukum dan rasisme yang terlembaga pada tahun 1960-an.

Demokrasi Barat tidak mampu memecahkan masalah ras di Amerika, dan Afrika Amerika hidup di bawah ancaman teror yang terus-menerus dari masyarakat yang membawa banyak nenek moyang mereka dari Afrika dua setengah abad yang lalu.[]

Share artikel ini: